Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Sampai Sekarang Kita Masih Gagap Hadapi Banjir?

Kompas.com, 15 Maret 2025, 19:00 WIB
The Conversation,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Oleh Munajat Narsaputra*

KOMPAS.com - Banjir sering datang tiba-tiba di berbagai daerah di Indonesia. Baru-baru ini, bah dengan ketinggian mencapai tiga meter menggenangi permukiman warga hingga pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat dan meluas ke berbagai wilayah Jabodetabek.

Bulan lalu, banjir juga melanda Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Air tak surut-surut selama lima hari. Area rawa sampai perumahan elite di daerah tinggi yang diklaim bebas banjir pun ikut terendam.

Mayoritas wilayah gagap menghadapi banjir. Sistem prediksi banjir yang kurang akurat membuat langkah mitigasi selalu telat dilakukan. Imbasnya, “wilayah langganan banjir” terus menjadi korban, kerugian yang dialami masyarakat pun semakin besar.

Akurasi prediksi banjir dan strategi mitigasi bencana harus segera diperkuat agar kita tidak selalu waswas setiap kali musim hujan datang.

Tren banjir kian mengkhawatirkan

Dalam 20 tahun terakhir, tren banjir di Indonesia terus naik. Pada awal 2000-an, proporsi banjir masih sekitar 20–30 persen dari total bencana setiap tahun.

Angka ini kemudian meroket menjadi 54,5 persen pada 2012, lalu naik menjadi 55,1 persen pada 2024. Artinya, lebih dari separuh bencana di Indonesia dalam dua dekade terakhir adalah banjir.

Penyebab utama luapan banjir, yaitu kombinasi curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim, buruknya sistem drainase, serta perubahan fungsi lahan yang semakin tak terkendali.

Area-area resapan dipenuhi beton dan aspal. Hujan deras yang mestinya bisa terserap tanah, kini mengalir mencari tempat baru—dan sayangnya, tempat itu adalah rumah-rumah warga.

Meski kejadian banjir makin sering, sistem prediksi dan mitigasi kita masih tertinggal. Dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) hanya mengandalkan data dari InaRISK Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang bersifat kualitatif.

Data ini hanya memberi gambaran umum mengenai tingkat bahaya banjir (rendah, sedang, tinggi), tanpa memberikan detail, seperti luas area terdampak, kedalaman genangan, serta pola dan kecepatan aliran air.

Kajian Risiko Bencana (KRB) yang digunakan untuk memetakan risiko banjir juga masih berbasis pada kondisi morfologi (bentuk dan karakteristik lahan), tanpa mempertimbangkan dampak dari perubahan fungsi lahan dan perubahan iklim. Ibarat membaca peta, tanpa melihat kondisi jalan terkini, sistem ini membuat langkah kita selalu tertinggal dalam mengatasi banjir.

Pendekatan sistem prediksi banjir

Sistem prediksi banjir yang akurat mendapat perhatian serius dalam berbagai studi ilmiah. Berdasarkan basis data jurnal internasional SCOPUS, ada sekitar 472 artikel (1970-2025) yang membahas metode pemetaan dan prediksi banjir.

Baca juga: Banjir Bekasi, Greenpeace Nyatakan Sebabnya adalah Alih Fungsi DAS

Dari berbagai studi tersebut, setidaknya ada empat metode pendekatan utama yang bisa digunakan dengan kelebihan dan keterbatasan masing-masing, antara lain:

1. Machine learning (ML) dan artificial intelligence (AI)

Machine learning (ML) dan artificial intelligence (AI) bisa memprediksi dan memetakan risiko banjir lebih akurat dengan tingkat akurasi 87 persen.

Model yang bisa digunakan, seperti Random Forest, Support Vector Machine (SVM), Extreme Gradient Boosting (XGBoost), Artificial Neural Networks (ANN), Convolutional Neural Networks (CNN), dan Spatio-Temporal Attention Gated Recurrent Unit (STA-GRU).

Pendekatan ini memiliki kemampuan analisis big data dan bisa memahami pola yang sulit dilihat manusia. Modelnya juga bisa diperbarui secara real-time, jadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim.

Kekurangannya, metode ini butuh data dan daya komputasi berkualitas tinggi untuk melatih model. Selain itu, beberapa model sering dianggap sebagai black box—yang hasilnya sulit untuk ditafsirkan secara langsung.

2. Pendekatan spasial multi kriteria

Metode ini membuat peta risiko banjir berdasarkan berbagai faktor, seperti curah hujan, topografi (bentuk dan unsur permukaan tanah), serta jenis tanah. Dengan menggunakan alat berupa Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Multi-Criteria Decision-Making (MCDM), data-data ini diberi bobot dan di-overlay untuk menentukan wilayah mana yang paling rawan banjir.

Kelebihan pendekatan ini, mudah dipahami karena divisualisasikan dalam peta spasial dan tidak perlu komputer atau sistem canggih untuk mengoperasikannya. Sementara kelemahan utamanya adalah cenderung subjektif karena mengandalkan penilaian pembobotan manusia.

Metode ini juga kurang bisa menangkap dinamika perkembangan banjir dari waktu ke waktu. Beberapa penelitian menunjukkan metode ini memiliki tingkat akurasi sekitar 78 persen.

3. Pemodelan hidrologi dan hidrodinamika

Metode ini bisa disebut “simulasi banjir” yang mencoba memahami bagaimana air bergerak di permukaan. Model yang sering digunakan untuk simulasi hidrologi, di antaranya Rainfall-Runoff-Inundation (RRI), Soil and Water Assessment Tools (SWAT), serta Hydrologic Engineering Center - Hydrologic Modeling System (HEC-HMS).

Adapun simulasi hidrodinamika memakai 1D/2D Hydrodynamic Modeling (HEC-RAS, TELEMAC-2D, LISFLOOD-FP) dan Storm Water Management Model (SWMM).

Pendekatan ini memiliki akurasi yang tinggi mencapai 98 persen. Model ini juga bisa digunakan untuk mensimulasikan berbagai skenario perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan. Namun, kelemahan utama pendekatan ini adalah butuh data input yang sangat spesifik dan waktu komputasi yang lebih lama. Selain itu, model ini memerlukan kalibrasi dan validasi agar hasil yang diperoleh benar-benar menyerupai kondisi lapangan.

4. Statistik dan Non-Stationary

Pendekatan ini mirip dengan melihat pola di masa lalu untuk memperkirakan risiko di masa depan. Dengan memakai teknik, seperti Flood Frequency Analysis (FFA), Log-Pearson Type III Distribution, dan Bayesian Statistical Methods, para peneliti bisa menganalisis data historis banjir untuk memprediksi kemungkinan kejadian ekstrem berikutnya.

Keunggulan pendekatan ini terletak pada kemampuannya menganalisis tren jangka panjang dan memprediksi kemungkinan terjadinya banjir. Namun, tingkat kesalahan cukup besar, 37-47%.

Selain itu, metode ini memiliki kelemahan tidak bisa menangkap aspek spasial serta kurang mempertimbangkan perubahan hidrologi yang terjadi akibat perubahan lingkungan dari waktu ke waktu.

Optimasi langkah untuk prediksi banjir akurat

Jepang adalah salah satu negara yang patut di contoh sebagai “laboratorium hidup” dalam mengatasi banjir. Meski sering mengalami cuaca ekstrem, mereka cepat tanggap dan memiliki sistem mitigasi yang baik.

Pemerintah Jepang memanfaatkan studi-studi ilmiah yang dilakukan oleh universitas atau lembaga penelitian dengan baik. Misalnya dalam dokumen Tokyo Climate Change Adaptation Plan, pemerintah Jepang memperhitungkan skenario banjir paling ekstrem untuk membangun infrastruktur drainase secara bertahap pada lokasi-lokasi yang telah diidentifikasi berdasarkan riset.

Mereka juga mengembangkan sistem peringatan dini untuk memperingatkan masyarakat sebelum banjir terjadi, menerapkan aturan pembangunan rumah yang lebih tahan banjir, dan membangun lebih banyak area hijau dan resapan air dalam tata ruang wilayah.

Di Indonesia, biang banjir yang kompleks memerlukan pendekatan sistem prediksi yang lebih canggih. Salah satu model yang bisa dipakai adalah model hybrid—kombinasi model hidrologi-hidrodinamika dan machine learning.

Model hidrologi-hidrodinamika penting untuk menganalisis faktor-faktor fisik yang memengaruhi banjir, seperti perubahan lahan dan iklim, sedangkan machine learning bisa mempelajari pola banjir dari data historis.

Dengan metode ini, BMKG misalnya, bisa memberikan perkiraan yang lebih detail dan akurat soal area yang akan tergenang dan seberapa dalam genangannya saat banjir melanda.

Berbagai universitas di Indonesia sebenarnya sudah banyak melakukan riset soal banjir, termasuk mengenai sistem prediksi. Masalahnya, hasil riset kampus kurang dilirik dalam pengambilan kebijakan. Seharusnya, kajian ilmiah lebih sering masuk dalam dokumen perencanaan pembangunan, agar kebijakan yang diambil benar-benar berbasis data, bukan sekadar reaktif setiap kali banjir datang.

Sudah saatnya kita berinvestasi dalam sistem prediksi berbasis data yang lebih akurat dan strategi mitigasi yang lebih proaktif. Jangan sampai banjir terus menjadi “tamu tak diundang” yang datang tanpa peringatan, sementara kita hanya bisa pasrah dan menunggu air surut.

Baca juga: Banjir Parah, Apa Sebenarnya Hubungannya dengan Perubahan Iklim?

*Lecturer and Researcher in Geospatial Information Systems for Forestry and Environment, Universitas Hasanuddin

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Pemerintah
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
LSM/Figur
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
BUMN
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Swasta
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pemerintah
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
LSM/Figur
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau