Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Sampai Sekarang Kita Masih Gagap Hadapi Banjir?

Kompas.com - 15/03/2025, 19:00 WIB
The Conversation,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Pendekatan ini mirip dengan melihat pola di masa lalu untuk memperkirakan risiko di masa depan. Dengan memakai teknik, seperti Flood Frequency Analysis (FFA), Log-Pearson Type III Distribution, dan Bayesian Statistical Methods, para peneliti bisa menganalisis data historis banjir untuk memprediksi kemungkinan kejadian ekstrem berikutnya.

Keunggulan pendekatan ini terletak pada kemampuannya menganalisis tren jangka panjang dan memprediksi kemungkinan terjadinya banjir. Namun, tingkat kesalahan cukup besar, 37-47%.

Selain itu, metode ini memiliki kelemahan tidak bisa menangkap aspek spasial serta kurang mempertimbangkan perubahan hidrologi yang terjadi akibat perubahan lingkungan dari waktu ke waktu.

Optimasi langkah untuk prediksi banjir akurat

Jepang adalah salah satu negara yang patut di contoh sebagai “laboratorium hidup” dalam mengatasi banjir. Meski sering mengalami cuaca ekstrem, mereka cepat tanggap dan memiliki sistem mitigasi yang baik.

Pemerintah Jepang memanfaatkan studi-studi ilmiah yang dilakukan oleh universitas atau lembaga penelitian dengan baik. Misalnya dalam dokumen Tokyo Climate Change Adaptation Plan, pemerintah Jepang memperhitungkan skenario banjir paling ekstrem untuk membangun infrastruktur drainase secara bertahap pada lokasi-lokasi yang telah diidentifikasi berdasarkan riset.

Mereka juga mengembangkan sistem peringatan dini untuk memperingatkan masyarakat sebelum banjir terjadi, menerapkan aturan pembangunan rumah yang lebih tahan banjir, dan membangun lebih banyak area hijau dan resapan air dalam tata ruang wilayah.

Di Indonesia, biang banjir yang kompleks memerlukan pendekatan sistem prediksi yang lebih canggih. Salah satu model yang bisa dipakai adalah model hybrid—kombinasi model hidrologi-hidrodinamika dan machine learning.

Model hidrologi-hidrodinamika penting untuk menganalisis faktor-faktor fisik yang memengaruhi banjir, seperti perubahan lahan dan iklim, sedangkan machine learning bisa mempelajari pola banjir dari data historis.

Dengan metode ini, BMKG misalnya, bisa memberikan perkiraan yang lebih detail dan akurat soal area yang akan tergenang dan seberapa dalam genangannya saat banjir melanda.

Berbagai universitas di Indonesia sebenarnya sudah banyak melakukan riset soal banjir, termasuk mengenai sistem prediksi. Masalahnya, hasil riset kampus kurang dilirik dalam pengambilan kebijakan. Seharusnya, kajian ilmiah lebih sering masuk dalam dokumen perencanaan pembangunan, agar kebijakan yang diambil benar-benar berbasis data, bukan sekadar reaktif setiap kali banjir datang.

Sudah saatnya kita berinvestasi dalam sistem prediksi berbasis data yang lebih akurat dan strategi mitigasi yang lebih proaktif. Jangan sampai banjir terus menjadi “tamu tak diundang” yang datang tanpa peringatan, sementara kita hanya bisa pasrah dan menunggu air surut.

Baca juga: Banjir Parah, Apa Sebenarnya Hubungannya dengan Perubahan Iklim?

*Lecturer and Researcher in Geospatial Information Systems for Forestry and Environment, Universitas Hasanuddin

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau