Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketidakjelasan Danantara Disebut Picu Anjloknya IHSG

Kompas.com, 19 Maret 2025, 18:00 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebutkan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini dipicu beberapa hal, salah satunya terkait pengelolaan Daya Anagata Nusantara atau Danantara.

Menurut Direktur Celios, Bhima Yudhistria, tata kelola, Revisi Undang-Undang (RUU) BUMN yang dinilai tidak transparan, dan kontroversi mengenai proyek yang dibiayai oleh Danantara menyebabkan kondisi tersebut.

"Danantara itu sebenarnya aneh, karena dia lagi dideketin Uni Emirat Arab buat penjajakan energi terbarukan. Ternyata proyek pertama yang diluncurkan Danantara mau membiayai gasifikasi batu bara," ujar Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/3/2025).

Hal ini lantas menimbulkan keraguan bagi investor tentang arah maupun komitmen Danantara dalam mendukung transisi energi yang lebih ramah lingkungan.

"Jadi bingung Danantara ini mau terus melanjutkan industri ekstraktif batu bara atau justru digunakan alat investasi untuk mendorong ekonomi berkelanjutan, investasi berkelanjutan," sebut Bhima.

Belum lagi, pengelolaan dana pihak ketiga oleh bank BUMN melalui Danantara yang akhirnya berisiko menambah ketidakpercayaan investor.

Jika program tersebut gagal membayar kewajiban utang atau proyeknya merugi, misalnya, risikonya mengarah ke sektor keuangan maupun dana pihak ketiga.

"Harusnya kan bank BUMN dikecualikan lah dari pengelolaan aset Danantara, karena kalau ada masalah di dalam gagal bayar Danantara misalnya, proyeknya tidak menguntungkan, bisa merembet kepada dana pihak ketiga yang dianggap aset yang dikelola oleh Danantara," jelas Bhima.

Di sisi lain, Bhima turut menyoroti soal RUU TNI yang memicu gejolak harga pasar saham.

Menurut dia, aspek yang menjadi perhatian utama adalah perpanjangan usia pensiun bagi anggota TNI, yang akan berdampak signifikan terhadap kapasitas fiskal negara dalam jangka panjang.

Perpanjangan usia pensiun TNI dianggap berpotensi memengaruhi peningkatan belanja pegawai pemerintah, yang pada gilirannya akan berimbas pada anggaran negara dan utang pemerintah.

Padahal, saat ini pemerintah tengah memberlakukan efisiensi untuk menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Kedua, concern-nya adalah pada rusaknya meritokrasi di posisi-posisi jabatan sipil. Salah satunya di BUMN, kemudian di kementerian lembaga yang harusnya diisi oleh jabatan sipil," papar Bhima.

Baca juga: IHSG Anjlok, Peluang Besar bagi Investasi EBT

"TNI enggak disiapkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi pengambilan kebijakan di level sipil. Jadi itu akan mendistorsi model meritokrasi yang ada di BUMN maupun kementerian lembaga, juga membuka celah korupsi, conflict of interest yang besar," imbuh dia.

Klaim Sri Mulyani

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau