Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim Picu Pencairan Gletser Tercepat, Kekeringan dan Banjir Mengintai

Kompas.com - 25/03/2025, 15:57 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Laporan terbaru yang diterbitkan UNESCO mengungkap bahwa krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga aktivitas yang tidak berkelanjutan makin mempercepat mencairnya gletser di seluruh dunia.

Tiga tahun terakhir menjadi periode dengan pencairan terbesar yang pernah tercatat, di mana sejak 1975 sudah 9.000 gigaton es mencair.

"Di mana pun kita tinggal, kita semua bergantung pada pegunungan dan gletser. Namun, menara air alami yang penting ini menghadapi ancaman besar," ujar Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, dikutip dari laman resmi UNESCO, Selasa (25/3/2025).

Menurutnya, laporan tersebut menunjukkan betapa mendesaknya aksi dan solusi yang efektif dengan pendekatan multilateral.

Berdasarkan Laporan Pengembangan Air Dunia PBB 2025, pegunungan menyediakan hingga 60 persen aliran air secara global dengan lebih dari 1 miliar orang tinggal di sana. Pegunungan dibutuhkan bagi sektor peternakan, kehutanan, pariwisata, dan produksi energi.

"Namun, laporan ini menunjukkan bahwa gletser di seluruh dunia mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Air pegunungan biasanya menjadi yang pertama terdampak, dan paling rentan terhadap efek parah dari gangguan iklim dan keanekaragaman hayati," tulis UNESCO.

Selain itu, mencairnya gletser dan berkurangnya salju di pegunungan berimbas pada dua pertiga pertanian dunia yang dialiri air.

Baca juga: Krisis, Vegetasi Hutan DAS Turun Drastis akibat Pembangunan  

Anak-anak serta perempuan di kawasan pegunungan negara berkembang pun menjadi kelompok yang paling rentan terkait ketersediaan pangan.

Gangguan Pasokan Air

UNESCO menyebut, gletser yang menyusut hanyalah satu contoh dari perubahan cepat yang terjadi di daerah pegunungan.

Lapisan salju di Gunung Fuji, misalnya, kini muncul hampir satu bulan lebih lambat dari biasanya. Perubahan ini lantas meningkatkan risiko bencana alam berupa banjir dan kekeringan.

Para peneliti mencatat, Sungai Colorado di Amerika Utara juga telah mengalami kekeringan sejak tahun 2000. Kondisi itu makin diperparah dengan kenaikan suhu yang mengakibatkan peningkatan curah hujan.

Dampak lainnya, perubahan air dari pegunungan berimbas pada irigasi kakao, padi, dan produksi buah di Madagaskar.

Kerja Sama Internasional

UNESCO menyatakan, harus ada kerja sama internasional untuk mengamankan pasokan air di dunia melalui penelitian, koordinasi kebijakan, serta tindakan yang konkret.

Di Asia Tengah, UNESCO mengalokasikan dana sebesar 12 juta dolar AS untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan kerja sama ilmiah termasuk sistem pemantauan gletser regional.

Lainnya, membangun Sistem Peringatan Dini Banjir di Kazakhstan, Kirgizstan, serta Uzbekistan yang akan membantu melindungi lebih dari 100.000 orang dari risiko bencana akibat pecahnya danau glasial.

UNESCO turut memimpin proyek Membuka Potensi Menara Air Kilimanjaro, Afrika dengan dana 8 juta dolar AS dari Global Environment Facility. Proyek ini diproyeksikan memberi manfaat bagi lebih dari 2 juta orang Tanzania dan Kenya yang bergantung langsung pada air di puncak tertinggi Afrika.

Inisiatif tersebut juga memulihkan kilometer (km) hutan awan yang terdegradasi, hingga memperkuat pengelolaan lebih dari 17.000 km kawasan lindung.

Baca juga: Putusan terhadap Greenpeace Bisa Ancam Perjuangan Lawan Krisis Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau