KOMPAS.com - Putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Greenpeace untuk membayar triliunan rupiah kepada perusahaan energi dinilai bisa mengancam perjuangan dalam melawan krisis iklim.
Sebelumnya, para juri di Pengadilan North Dakota, Amerika Serikat (AS), memutus bahwa Greenpeace harus membayar 667 juta dollar AS atau sekitar Rp 11 triliun kepada perusahaan asal Texas, Energy Transfer.
Mereka memutus Greenpeace mencemarkan nama baik dan konspirasi saat aksi protes mereka terhadap proyek jaringan pipa minyak Dakota Access Pipeline pada 2016-2017.
Baca juga: Greenpeace Dihukum Bayar Rp 11 Triliun, Perusahaan Migas Dikhawatirkan Lakukan Tindakan Serupa
Proyek tersebut dimulai pada 2016 dan selesai pada 2017. Pipa tersebut mengangkut sekitar 40 persen produksi minyak di wilayah Bakken, North Dakota.
Direktur Eksekutif Greenpeace International Mads Christensen mengatakan, putusan tersebut mencerminkan pengutamaan keuntungan perusahaan fosil ketimbang kesehatan publik dan kelangsungan planet Bumi.
"Pemerintahan (Presiden AS Donald) Trump sebelumnya menghabiskan empat tahun untuk mempreteli pelindungan terhadap udara bersih, air, dan kedaulatan masyarakat adat. Kini dengan komplotannya, mereka ingin merampungkan misi dengan membungkam protes. Kami tidak akan mundur. Kami tak bisa dibungkam," kata Christensen dikutip dari siaran pers, Senin (24/3/2025).
Greenpeace menilai, tuntutan tersebut merupakan contoh nyata dari strategic lawsuit against public participation (SLAPP).
Baca juga: Greenpeace: Bau dan Picu ISPA, Bukti RDF Rorotan Solusi Palsu
SLAPP merupakan gugatan yang disengaja dilakukan oleh pihak yang lebih kuat untuk membungkam atau menghentikan partisipasi publik, terutama yang berkaitan dengan isu-isu publik atau lingkungan.
Direktur Eksekutif Sementara Greenpeace Inc Sushma Raman berujar, kasus tersebut seharusnya membuat semua orang khawatir.
Dia menambahkan, kasus tersebut adalah salah satu cara baru korporasi menjadikan pengadilan sebagai senjata untuk membungkam perbedaan pendapat.
"Tuntutan hukum seperti ini bertujuan merampas hak kita untuk melakukan protes damai dan mengancam kebebasan berbicara. Hak-hak ini penting untuk setiap upaya memastikan keadilan – dan itulah sebabnya kita akan terus melawan bersama dalam solidaritas," ujar Raman.
Baca juga: Banjir Bekasi, Greenpeace Nyatakan Sebabnya adalah Alih Fungsi DAS
Dilansir dari Reuters, Pengacara Energy Transfer, Trey Cox, menyatakan, protes dari Greenpeace dilakukan secara keras dan merusak. Dia menilai, aksi tersebut bukanlah kebebasan berpendapat yang dilindungi secara hukum.
"Hari ini, juri memberikan vonis yang meyakinkan, menyatakan tindakan Greenpeace salah, melanggar hukum, dan tidak dapat diterima oleh standar masyarakat. Ini adalah hari perhitungan dan akuntabilitas bagi Greenpeace," kata Cox.
Reuters melaporkan, pembangunan pipa Dakota Access tersebut mendapat penolakan keras dari sejumlah kelompok advokasi dan lingkungan serta masyarakat adat setempat.
Mereka memperingatkan, proyek tersebut dapat mencemari sumber air setempat dan memperburuk krisis iklim.
Baca juga: Bahlil Sebut Pensiun PLTU Jangan Dipaksakan, Greenpeace: Kontradiktif
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya