Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Listrik Dunia Naik, 40 Persen dari Nuklir dan Energi Terbarukan

Kompas.com - 28/03/2025, 08:00 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan permintaan energi global tumbuh lebih cepat dari rata-rata pada 2024.

Kenaikan permintaan energi pada tahun lalu didorong oleh peningkatan konsumsi listrik di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai hampir 1.100 TWh.

Menariknya, laporan tersebut mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, sebagian besar peningkatan produksi listrik global berasal dari energi terbarukan dan nuklir. Untuk pertama kalinya, gabungan kontribusi kedua sumber energi tersebut mencapai 40 persen dari total produksi listrik dunia.

Laporan juga mencatat, pada tahun 2024, dunia mencatat rekor baru dalam pemasangan kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan, dengan peningkatan mencapai sekitar 700 gigawatt.

Baca juga: Potensi Ekonomi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Rp 8.824 triliun, 40 Persen PDB

Ini merupakan tahun ke-22 berturut-turut di mana kapasitas energi terbarukan terus meningkat.

Seperti diberitakan Power Engineering International, Selasa (25/3/2025), peningkatan signifikan dalam penggunaan listrik dunia tahun lalu didorong oleh rekor suhu global.

Hal tersebut akhirnya mendorong permintaan penggunaan pendingin ruangan di banyak negara. Selain itu juga ada faktor dari adanya peningkatan elektrifikasi dan digitalisasi.

"Peningkatan pesat dalam penggunaan listrik mendorong peningkatan permintaan energi secara keseluruhan, membalikkan tren penurunan konsumsi energi di negara-negara maju. Pertumbuhan ini didorong oleh energi terbarukan dan gas alam," ungkap Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol.

Selain permintaan listrik yang naik, laporan mencatat pula ada kenaikan energi yang lain. Misalnya, permintaan gas alam naik sebesar 115 miliar meter kubik karena konsumsi daya yang lebih tinggi.

Permintaan batu bara global naik sebesar 1 persen pada 2024. Namun permintaan minyak tumbuh lebih lambat, naik sebesar 0,8 persen pada 2024.

Negara-negara berkembang menjadi pendorong utama pertumbuhan permintaan energi global, menyumbang lebih dari 80 persen.

Namun, negara-negara maju juga mengalami peningkatan permintaan energi setelah beberapa tahun mengalami penurunan, dengan peningkatan hampir 1 persen.

Peningkatan Emisi

Di sisi lain, laporan menemukan pula adanya pertumbuhan emisi pada 2024.

Mayoritas pertumbuhan di tahun itu berasal dari negara-negara berkembang. China tidak termasuk dalam kelompok negara yang menghasilkan peningkatan emisi tersebut.

Baca juga: NDB Disebut Ingin Terlibat Pendanaan Proyek Energi Terbarukan di Indonesia

Sementara itu, emisi CO2 di negara-negara maju turun sebesar 1,1 persen menjadi 10,9 miliar ton pada tahun 2024 .

Laporan IEA menyatakan bahwa penggunaan teknologi energi bersih telah membatasi peningkatan emisi CO2.

Lebih penting lagi, laporan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2 semakin terpisah, yang berarti ekonomi dapat tumbuh tanpa peningkatan emisi yang signifikan.

"Tren-tren penting yang telah diprediksi oleh IEA, seperti melambatnya pertumbuhan permintaan minyak, meningkatnya penggunaan mobil listrik, peran listrik yang semakin penting, dan pemisahan emisi dari pertumbuhan ekonomi, kini terlihat jelas dalam data tahun 2024," ungkap Dr. Birol.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Studi: Mayoritas Pabrikan Mobil Uni Eropa Siap Penuhi Target Emisi
Studi: Mayoritas Pabrikan Mobil Uni Eropa Siap Penuhi Target Emisi
Swasta
Dari Trek Lari, FKUI Targetkan Galang Rp 4M untuk Bangun Puskesmas Cianjur
Dari Trek Lari, FKUI Targetkan Galang Rp 4M untuk Bangun Puskesmas Cianjur
Swasta
Tak Masalah FOMO Lari, Kita Bisa Berkontribusi pada SDGs
Tak Masalah FOMO Lari, Kita Bisa Berkontribusi pada SDGs
LSM/Figur
Timbunan Sampah Capai 140 Ribu Ton per Hari, Pengelolaannya Baru 15 Persen
Timbunan Sampah Capai 140 Ribu Ton per Hari, Pengelolaannya Baru 15 Persen
Pemerintah
84 Ribu Hektare Kebun Sawit Ada dalam Kawasan Hutan, Milik 64 Entitas
84 Ribu Hektare Kebun Sawit Ada dalam Kawasan Hutan, Milik 64 Entitas
Pemerintah
Tambang Nikel Rusak Raja Ampat, Greenpeace Desak Tata Kelola Mineral Berkelanjutan
Tambang Nikel Rusak Raja Ampat, Greenpeace Desak Tata Kelola Mineral Berkelanjutan
LSM/Figur
BPOM Ungkap Strategi Cegah Keracunan pada Program MBG
BPOM Ungkap Strategi Cegah Keracunan pada Program MBG
Pemerintah
Dari Norwegia ke India, Industri Semen Tangkap Karbon untuk Jawab Tantangan Iklim
Dari Norwegia ke India, Industri Semen Tangkap Karbon untuk Jawab Tantangan Iklim
Swasta
Pangkas Emisi Karbon, Kemenhut Siapkan 17 Juta Bibit Gratis
Pangkas Emisi Karbon, Kemenhut Siapkan 17 Juta Bibit Gratis
Pemerintah
Industri Semen Tekan Emisi 21 Persen, Bidik Semen Hijau Nol Karbon 2050
Industri Semen Tekan Emisi 21 Persen, Bidik Semen Hijau Nol Karbon 2050
Swasta
Inquirer ESG Edge Awards 2025: Apresiasi Perusahaan hingga UMKM yang Bawa Dampak Nyata
Inquirer ESG Edge Awards 2025: Apresiasi Perusahaan hingga UMKM yang Bawa Dampak Nyata
Swasta
Tangkap dan Simpan Emisi CO2 di Bawah Tanah? Riset Ungkap Cuma Bisa Dilakukan 200 Tahun
Tangkap dan Simpan Emisi CO2 di Bawah Tanah? Riset Ungkap Cuma Bisa Dilakukan 200 Tahun
LSM/Figur
Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Pemerintah
Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal
Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal
Pemerintah
Pencemaran Sungai Jakarta, UMKM Diminta Segera Urus NIB dan SPPL
Pencemaran Sungai Jakarta, UMKM Diminta Segera Urus NIB dan SPPL
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau