KOMPAS.com - Krisis iklim yang semakin parah bisa membuat perusahaan asuransi tak mampu menawarkan perlindungan.
Emisi karbon dioksida global masih terus meningkat. Bahkan berbagai kebijakan iklim saat ini pun tak mampu mencegah kenaikan suhu Bumi di masa mendatang.
Berdasarkan kebijakan saat ini, suhu Bumi bisa naik antara 2,2 derajat celsius hingga 3,4 derajat celsius dibandingkan masa praindustri.
Baca juga: Mantan Wapres AS Latih 1.050 Orang di Indonesia Tanggap Perubahan Iklim
Gunther Thallinger dari Allianz SE mengatakan, kenaikan suhu Bumi di atas 3 derajat celsius akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar.
Thallinger menyebutkan, krisis iklim memicu berbagai cuaca ekstrem dan bencana. Akibatnya, banyak properti dan rumah mengalami kerusakan atau kehilangan nilainya,
Akibat krisis iklim pula, kota-kota menjadi terlalu panas sehingga tidak layak huni. Seluruh instrumen aset juga mengalami degradasi secara langsung akibat pemanasan global.
Di satu sisi, bisnis inti industri asuransi adalah manajemen risiko. Sektor ini juga telah lama menganggap serius bahaya pemanasan global.
Baca juga: Asosiasi Mantan Pemimpin Dunia Desak Kepemimpinan Eropa dalam Aksi Iklim
"Kita dengan cepat mendekati tingkat suhu di mana perusahaan asuransi tidak akan lagi dapat menawarkan perlindungan untuk banyak dari risiko ini," kata Thallinger dilansir dari The Guardian, Kamis (3/4/2025).
Penghitungan asuransi pun menjadi tak masuk. Premi yang dibutuhkan melebihi apa yang dapat dibayarkan orang atau perusahaan.
"Ini sudah terjadi. Seluruh wilayah menjadi tidak dapat diasuransikan" tutur Thallinger.
Dalam laporan terkini, perusahaan asuransi Aviva menyebutkan, kerusakan akibat cuaca ekstrem selama 10 tahun hingga 2023 mencapai 2 triliun dollar AS.
Baca juga: Jaga Iklim Investasi, LPEM FEB UI Tekankan Pentingnya Penataan Sawit yang Baik
Sementara itu, perusahaan asuransi lainnya, GallagherRE menyebutkan kerusakan akibat cuaca ekstrem mencapai 400 miliar dollar AS pada 2024.
"Kabar baiknya adalah kita sudah memiliki teknologi untuk beralih dari pembakaran fosil ke energi tanpa emisi. Satu-satunya yang kurang adalah kecepatan dan skala. Ini tentang menyelamatkan kondisi di mana pasar, keuangan, dan peradaban itu sendiri dapat terus beroperasi," kata Thallinger.
Nick Robins, ketua Just Transition Finance Lab di London School of Economics, menuturkan, berbagai analisis dari perusahaan asuransi tidak hanya memaparkan ancaman finansial, tetapi juga ancaman peradaban yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
"Ini perlu menjadi dasar untuk tindakan baru, khususnya di negara-negara di belahan bumi selatan," ujar Robins.
Baca juga: Dampak Ekonomi Perubahan Iklim, Dunia Bisa Kehilangan 40 Persen GDP
Di sisi lain, Thallinger juga menuding, gagasan bahwa miliaran orang dapat beradaptasi dengan dampak iklim yang memburuk adalah kenyamanan palsu.
"Tidak ada cara untuk beradaptasi dengan suhu di luar toleransi manusia. Seluruh kota yang dibangun di wilayah banjir tidak dapat begitu saja dinaikkan," paparnya.
Thallinger menegaskan, jika suhu Bumi naik 3 derajat celsius, kerusakan akibat krisis iklim tidak dapat diasuransikan, ditanggung oleh pemerintah, atau adaptasi.
"Itu berarti tidak ada lagi hipotek, tidak ada pembangunan real estate baru, tidak ada investasi jangka panjang, tidak ada stabilitas keuangan. Sektor keuangan seperti yang kita ketahui berhenti berfungsi," tuturnya.
Dia berucap, satu-satunya solusi untuk mengatasi krisis iklim dan menangani dampak turunannya adalah memangkas pembakaran bahan bakar fosil atau menangkap emisi.
"Biaya tidak bertindak lebih tinggi daripada biaya transformasi dan adaptasi. Jika kita berhasil dalam transisi, kita akan menikmati ekonomi yang lebih efisien dan kompetitif dan kualitas hidup yang lebih tinggi," ucap Thallinger.
Baca juga: Semakin Ditunda, Ongkos Atasi Krisis Iklim Semakin Besar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya