JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Nasional sekaligus pendiri Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, menilai bahwa program biodiesel B40 yang dicanangkan pemerintah justru menyebabkan pengusaha sulit mengekspor minyak sawit.
Selain itu, pengusaha sawit juga dibebani kebijakan domestic market obligation (DMO).
"Sawit dipaksa untuk penuhi kewajiban 40 persen biofuel untuk B40, sepertinya akan lesu terkait dengan ekspor minyak sawit ke luar. Karena satu sisi ada beban yang memang harus ditanggung. Satu, adalah terkait dengan domestic market obligation, pajak ekspor, bea keluar, dan lain-lain," ujar Mansuetus saat dihubungi, Rabu (9/4/2025).
Menurut dia, pengusaha dibebani pajak ekspor sekitar 170 dolar AS per ton. Hal tersebut menjadi sorotan, kendati harga ekspor minyak sawit atau CPO masih stabil.
Baca juga: Serikat Petani Sawit: Kebijakan Tarif Trump Bakal Gerus Ekspor ke AS
"Misalnya ketika barang keluar saja harus dibebani (pajak) yang tinggi, kemudian itu pasar dalam negeri ada biodiesel ini kan tidak realistis jadinya ketika misalnya harga CPO lagi bagus kemudian sawit ini dikunci oleh regulasi dalam negeri," kata Mansuetus.
"Ditambah lagi misalnya dengan kebijakan tarif Trump yang memang menurut saya akan menggerus ekspor sawit ke US, ini kan harus ada cara-cara lain (sebagai solusi)," imbuh dia.
Mansuetus menyampaikan, kewajiban memenuhi B40 ataupun B50 yang saat ini digencarkan berpotensi menyengsarakan industri sawit. Sebab, harga di dalam negeri tak mengikuti harga ekspor minyak sawit.
"Menurut saya begitu, itu akan menyengsarakan sektor bisnis. Intinya, sektor bisnis industri sawit harus stabil agar mereka tetap mampu untuk membeli TBS (tandan buah segar) si petani," tutur dia.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan pihaknya bakal mengganti bahan bakar minyak dengan bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel B50 pada 2026 mendatang.
Pada tahun ini, pemerintah telah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter biodiesel dengan rincian 7,55 juta kl diperuntukkan bagi public service obligation (PSO). Sementara 8,7 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
“Untuk biodiesel B40 di 2025 kami mencanangkan sekitar 15,6 juta (kilo liter), dan di 2026 kami dorong ke B50. Maka Insya Allah kita tidak lagi mengimpor solar,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2025).
Baca juga: Implementasi B50 Butuh Tambahan Lahan Sawit 2,3 Juta Hektar, 4 Kali Luas Pulau Bali
Bahlil menyatakan, mandatori B40 diproyeksikan dapat menghemat devisa hingga Rp 147,5 triliun. Penjualan bakar campuran ini juga bertujuan mengurangi 41,46 juta ton emisi karbon dioksida (CO2), meningkatan nilai tambah CPO sebesar Rp20,9 triliun, hingga penyerapan tenaga kerja.
Implementasi program mandatori B40 termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40 Persen.
Bahlil pun memastikan, minyak kelapa sawit mentah yang menjadi bahan baku B50 telah disiapkan.
“Dalam perencanaan 2026, B50 akan kami terapkan. Semua sudah (siap CPO-nya),” jelas dia.
Baca juga: Heboh Kebun Sawit dalam Hutan Lindung
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya