Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serikat Petani Sawit: Kebijakan Tarif Trump Bakal Gerus Ekspor ke AS

Kompas.com - 09/04/2025, 11:45 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Nasional sekaligus pendiri Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, mengungkapkan kebijakan tarif impor Amerika Serikat akan menggerus ekspor minyak sawit (CPO) ke negara tersebut.

Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif impor 32 persen bagi Indonesia. 

"Kebijakan tarif Trump menurut saya akan menggerus ekspor sawit ke US. Ini kan harus ada cara-cara lain (sebagai solusi)," ujar Mansuetus saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/4/2025). 

Menurut dia, perang dagang Trump berimbas pada harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Kendati, saat ini harga TBS turun sekitar Rp 20-50 per kilogramnya. 

Mansuetus mengaku, pihaknya masih menunggu keputusan pemerintah terkait ekspor minyak sawit ke AS. 

Baca juga: Ahli Wanti-wanti Perang Dagang Trump Bisa Ancam Pembangunan Berkelanjutan

"Misalnya ekspor ke US disetop, pengusaha enggak mau suplai ke sana karena demand-nya dari sana juga enggak ada karena dibebani 32 persen untuk industri yang pakai minyak sawit artinya harus ada tukar guling," jelas dia. 

Pemerintah perlu mengatur strategi untuk mengambil tindakan tergadap bahan sawit yang sudah diekspor ke AS. 

"Sehingga masih ada kemampuan daya beli pengusaha sawit itu untuk TBS-nya petani," imbuh Mansuetus. 

Dia turut menyoroti tidak jelasnya langkah pemerintah Indonesia soal EUDR atau Europe Union Deforestation Regulation, aturan yang mencegah produk dan barang terkait deforestasi serta degradasi hutan diimpor atau diekspor ke Uni Eropa. 

Mansuetus mengatakan, pengusaha perlu dibantu untuk mengakses pasar Uni Eropa agar tak bergantung ke AS. 

"Saya lihat posisinya pemerintah masih memprovocate pengusaha-pengusaha sawit untuk melawan semaksimal mungkin agar EUDR bisa dibatalkan," ucap Mansuetus. 

"Sementara kalau lihat sekarang bahwa pasar US tergerus, ya pasar yang mungkin potensial diberikan harga bagus adalah Uni Eropa," tambah dia. 

Baca juga: RI Bisa Maksimalkan Ekspor Udang ke Jepang dan Malaysia setelah AS Patok Tarif Impor Tinggi

Namun, perambahan ke pasar Uni Eropa terancam terhambat dengan adanya kebijakan EUDR yang berlaku pada Januari 2026 mendatang. Karenanya, pemerintah dinilai harus mampu memotivasi pengusaha sawit untuk bisa mematuhi kebijakan tersebut. 

"Terkait dengan situasi sawit itu akan tergerus drastis apalagi kalau misalnya pasar UE itu tidak di-support oleh pemerintah, agar pengusaha bisa compliance dengan standar-standar UE," papar Mansuetus. 

Di sisi lain, dia mencatat bahwa ekspor minyak sawit mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu. Pada Maret 2025, misalnya, penurunan ekspor mencapai 20 persen dibandingkan Maret 2024. 

 "Tetapi, kita lihat nanti bagaimana upaya-upaya negosiasi lobi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk misalnya ekspor minyak sawit," ujar Mansuetus. 

Baca juga: Lancarkan Ekspor Nikel, Pemerintah Harus Lakukan Lobi ke AS

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, RI mengekspor CPO dan produk turunannya ke AS sebanyak 736.500 ton di 2015. 

Pada 2024, volume ekspor melonjak menjadi 1,39 juta ton. Volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mencapai 1,98 juta ton.

Lalu pada 2024, AS menempati peringkat ke-4 sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia. AS berada di bawah India, Pakistan, dan China. 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau