KOMPAS.com - Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto, mengatakan perubahan iklim memicu bencana alam berupa banjir, kenaikan suhu global, hingga badai tropis.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN) menunjukkan adanya tren peningkatan bencana hidrologi karena perubahan pola cuaca dan iklim.
"Di awal tahun 2025 banyak tempat di Indonesia yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor, yang kemudian menjadi salah satu evidence bahwa dampak perubahan iklim menjadi semakin nyata," ujar dalam acara peluncuran National Adaptation Plan, Jumat (2/5/2025).
Tak hanya itu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Timor Leste juga sempat dihantam badai tropis seroja pada 2021 lalu. Padahal, wilayah tersebut tidak pernah mengalami badai dengan intensitas sangat dahsyat sebelumnya.
Baca juga: Gelombang Panas di Asia Selatan Datang Lebih Awal, Ancaman Iklim Makin Nyata
"Kita juga melihat di pesisir pantai Pulau Jawa, pengenangan permanen telah menjadi ancaman dari kota yang berpenduduk padat di sepanjang Pantura Pulau Jawa," tutur Ary.
Faktor lain seperti penurunan muka air tanah turut memperparah kenaikan air laut. Sehingga air melimpas ke daratan akibat pemanasan global. Di sektor pertanian, kata Ary, krisis iklim menyebabkan penurunan produksi pangan bahkan gagal panen.
"Di bidang kesehatan kita melihat bahwa perubahan iklim itu memperluas vektor penyakit terkait dengan iklim seperti DBD, malaria, dan diare," ungkap dia.
Ary menyatakan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memitigasi dampak krisis iklim. Hal ini termasuk komitmen negara-negara dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca.
Baca juga: Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia
Namun, dia menilai upaya mitigasi masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada 2024, kenaikan suhu global melebihi angka yang ditetapkan Perjanjian Paris.
"Di tahun 2024, suhu rata-rata globalnya 1,59 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pra industri. Sehingga tidak mengherankan kalau dampak dari perubahan iklim menjadi makin nyata," kata Ary.
Dalam kesempatan itu, Ary turut menyoroti kerugian akibat perubahan iklim mencapai 0,55-3,55 persen dari Produk Domestik Bruto nasional di 2030.
Kini, KLH bersama sejumlah mitra menyusun Rencana Adaptasi Nasional atau NAP dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca juga: Produsen Energi Fosil Sebabkan Kerugian Ekonomi Paling Besar akibat Perubahan Iklim
NAP merupakan aspek penting guna meningkatkan aksi adaptasi melalui kebijakan dan perencanaan sesuai poin ketujuh Perjanjian Paris.
Penyusunan dokumen itu masih terbilang lambat lantaran baru 51 negara yang menyerahkannya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
"Oleh karena itu dalam COP 28 di Dubai tahun 2023, didorong bahwa negara-negara yang belum menyelesaikan NAP dapat segera melakukan penyusunan dan dapat men-submit-nya di tahun 2025," sebut Ary.
Dia memastikan, dokumen NAP bakal segera dieesaikan dan bisa diserahkan ke UNFCCC sebelum COP ke-30 di Brazil November 2025 mendatang.
Baca juga: Negara-negara Pasifik Desak G20 Buat Rencana Iklim Lebih Ambisius
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya