KOMPAS.com - Studi baru yang dipimpin oleh Prof. Li Zhi dari Akademi Ilmu Pengetahuan China mengungkapkan adanya peningkatan kekeringan salju global yang mengkhawatirkan di bawah berbagai skenario iklim.
Temuan itu diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters.
Kekeringan salju terjadi ketika jumlah salju yang terkumpul di suatu wilayah selama musim dingin jauh lebih sedikit dari biasanya.
Kekeringan salju diklasifikasikan menjadi dua kategori.
Pertama, "kering" yang disebabkan oleh presipitasi di musim dingin yang lebih sedikit dari biasanya. Jadi, tidak cukup salju turun sejak awal.
Baca juga: Alarm Serius dari Himalaya, Salju Capai Titik Terendah dalam 23 Tahun
Presipitasi, dalam konteks meteorologi, adalah segala bentuk air yang jatuh dari atmosfer ke permukaan bumi, termasuk hujan, salju, hujan es, dan hujan beku.
Kedua, kategori "hangat" yang disebabkan oleh suhu yang lebih hangat yang mengakibatkan hujan alih-alih salju. Kategori hangat juga bisa terjadi saat salju mencair lebih awal meskipun jumlah curah hujannya normal.
Melansir Phys, Rabu (30/4/2025), dalam studinya peneliti menggunakan data ERA5-Land dan proyeksi iklim multi-model CMIP6 untuk menganalisis tren jangka panjang dalam frekuensi kekeringan salju di bawah berbagai skenario emisi.
Hasil penelitian menunjukkan bakal adanya peningkatan signifikan dalam kejadian kekeringan salju hingga akhir abad ini.
Pada tahun 2100, frekuensi kekeringan salju dapat meningkat tiga kali lipat di bawah skenario SSP2-4.5 (skenario emisi menengah) dan empat kali lipat di bawah skenario SSP5-8.5 (skenario emisi tinggi), dibandingkan dengan garis dasar tahun 1981, yang dijadikan sebagai titik awal perbandingan.
Penelitian ini pun memprediksi bahwa di masa depan, kekeringan salju yang disebabkan oleh suhu hangat akan menjadi jauh lebih umum daripada kekeringan salju yang disebabkan oleh kurangnya salju.
Pada tahun 2050, jenis kekeringan ini diperkirakan dapat mencapai sekitar 65 persen dari seluruh kejadian kekeringan salju.
Baca juga: Produsen Energi Fosil Sebabkan Kerugian Ekonomi Paling Besar akibat Perubahan Iklim
Di bawah skenario SSP5-8.5 (emisi tinggi), frekuensi kekeringan salju tipe hangat dapat meningkat 6,6 kali lipat.
Sementara kejadian kekeringan salju gabungan tipe kering dan hangat yang menimbulkan risiko terbesar bagi ekosistem dan infrastruktur air, mungkin menjadi 3,7 kali lebih umum.
Penelitian ini pun menunjukkan bahwa tidak hanya kekeringan salju akan menjadi lebih sering dan parah, tetapi penyebabnya juga bergeser ke arah suhu yang lebih hangat atau kombinasi dengan kurangnya salju, terutama di wilayah lintang tengah dan tinggi.
Informasi ini sangat penting bagi upaya global dalam mengelola sumber daya air dan menghadapi dampak perubahan iklim.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya