Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Waspada Meningkatnya Kebakaran Hutan dan Lahan

Kompas.com, 5 Mei 2025, 19:30 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMANASAN global akibat perubahan iklim nampaknya membawa dampak sangat besar terhadap kehidupan manusia.

Di antaranya terjadi kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), bencana hidrometeorologi, menurunnya produksi pangan, merebaknya wabah penyakit dan sebagainya.

Pemberitaan harian Kompas, Jumat (2/5/2025), berjudul “Perubahan Iklim Meningkatkan Kebakaran Hutan” menegaskan dan membenarkan sinyalemen itu.

Perubahan iklim menyebabkan suhu global meningkat dan memicu kekeringan ekstrem sehingga membuat api lebih mudah menjalar.

Para peneliti dari Helmholtz Centre for Environmental Research, Jerman dan peneliti dari Australia menemukan musim cuaca kebakaran-periode cuaca yang sangat mendukung kebakaran seperti saat musim kemarau dengan kelembaban rendah – di Australia Timur dan Amerika Utara semakin tumpang tindih.

Musim kebakaran di kedua wilayah itu bergeser akibat perubahan iklim. Laporan hasil studi ini telah dipublikasikan di jurnal Earth’s Future pada April 2025.

Para peneliti menggunakan Canadian Fire Weather Index (FWI) untuk mengukur risiko kebakaran. Indeks ini memperhitungkan curah hujan, suhu, kelembaban relatif, dan kecepatan angin.

Para peneliti mengindentifikasi hari-hari dengan risiko kebakaran hutan yang tinggi. Mereka menemukan musim kebakaran di Australia Timur dan Amerika utara bagian barat semakin tumpang tindih sejak 1979.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Langsung maupun tidak langsung karena pemanasan global, maka perubahan iklim juga akan meningkatkan risiko kebakaran di Indonesia, khususnya pada daerah lahan gambut yang terbuka (termasuk perkebunan sawit yang ditanam di lahan gambut) yang memang sangat rentan kebakaran hutan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa awal musim kemarau 2025 mulai terjadi sejak April dan akan berlangsung secara bertahap di berbagai wilayah Indonesia.

Kendati demikian, musim kemarau 2025 diprediksi akan berlangsung lebih singkat dari biasanya di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal ini berdasarkan pemantauan dan analisis dinamika iklim global dan regional yang dilakukan BMKG hingga pertengahan April 2025.

Dwikorita juga mengungkapkan bahwa puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025, dengan wilayah-wilayah seperti Jawa bagian tengah hingga timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku diperkirakan mengalami puncak kekeringan pada Agustus.

Untuk sektor kebencanaan, peningkatan kesiapsiagaan terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi hal yang sangat krusial, terutama di wilayah yang diprediksi mengalami musim kemarau dengan sifat normal hingga lebih kering dari biasanya.

Pada periode saat ini di mana masih ada hujan, perlu ditingkatkan upaya pembasahan lahan-lahan gambut untuk menaikkan tinggi muka air dan pengisian embung-embung penampungan air di area yang rentan terbakar.

Sementara itu, di sektor lingkungan dan kesehatan, BMKG mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap potensi penurunan kualitas udara di wilayah perkotaan dan daerah rawan karhutla, serta dampak suhu panas dan kelembapan tinggi yang dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat.

Daerah rawan karhutla

Ada tujuh provinsi di Indonesia yang rawan terhadap karhutla, pada umumnya wilayahnya mempunyai lahan gambut yang cukup luas.

Daerah yang dimaksud adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Ekosistem gambut adalah unik. Fungsi spon ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, dan tetap basah pada musim kemarau sehingga jarang terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Lahan gambut selalu digenangi air rawa, di Indonesia terbentang seluas 13,43 juta ha, dengan terbesar berturut-turut di Sumatera (43 persen), Kalimantan (32 persen) dan Papua (25 persen).

Hasil penelitian mengemukakan bahwa hutan gambut memiliki potensi sebagai penyerap emisi karbon sangat besar di bumi.

Badan Restorasi Gambut (BRG) mencatat terdapat 2,4 juta ha yang rusak akibat kebakaran hutan, illegal logging, alih fungsi lahan untuk kepentingan lain.

Fungsi spon dari lahan gambut yang rusak telah hilang. Kebakaran yang memproduksi asap pada umumnya berasal dari lahan gambut yang semacam ini.

Karhutla khususnya di lahan gambut ditandai dengan adanya titik-titik api (hot spot) yang menimbulkan kabut asap yang sangat mengganggu mobilitas manusia, transportasi dan kesehatan mahkluk hidup.

Penyebab karhutla bisa karena faktor alam dan kesengajaan manusia membakar semak belukar untuk membersihkan ladang/kebunnya dengan cara cepat.

Kebakaran gambut di Indonesia tahun 1997-1998 telah melepaskan 2,5 miliar ton karbon, sedangkan kebakaran tahun 2002-2003 telah melepaskan antara 200 juta hingga satu miliar ton karbon ke atmosfer.

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan berperan besar dalam proses pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas dari lahan gambut.

Karhutla di lahan gambut dapat dicegah secara dini dengan pemantauan intensif melalui satelit atau drone untuk mendeteksi titik api yang baru muncul dan segera dipadamkan agar tidak sampai membesar dan meluas ketempat lain.

Sekat kanal dengan pembasahan yang terus menerus pada musim kemarau akan membantu mengendalikan karhutla.

Badan Restorasi Gambut (BRG/belakangan menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)) yang dibentuk pada 2016 sebenarnya sangat membantu mengendalikan karhutla dengan memfasilitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektare hingga 2020 di tujuh provinsi: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

Belakangan tugasnya ditambah untuk merestorasi gambut 1,2 juta hektare dari sisa yang rusak hingga tahun 2025.

Sayangnya, karena Lembaga ini bersifat ad hoc, maka pada pemerintahan Prabowo saat ini tugasnya tidak dilanjutkan.

Melihat eskalasi kerusakan ekosistem hutan gambut dan akan terus bertambah dengan pesatnya laju pembangunan yang membutuhkan lahan dari alih fungsi lahan gambut, maka pertanyaannya, bagaimana komitmen pemerintah Indonesia yang akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dengan kemampuan sendiri hingga 2030?

Mungkinkan target 29 persen dapat dicapai dengan sisa waktu 10 tahun, sementara tugas BRGM di pemerintahan tidak diperpanjang lagi. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Pemerintah
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Pemerintah
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
LSM/Figur
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pemerintah
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau