Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenkeu Gelontorkan Rp 76,3 Triliun per Tahun untuk Perubahan Iklim

Kompas.com, 5 Mei 2025, 07:06 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelontorkan dana Rp 76,3 triliun per tahun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mitigasi perubahan iklim. 

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menuturkan total realisasi belanja aksi perubahan iklim pemerintah mencapai Rp 610 triliun periode 2016-2023.

Pendanaan itu diberikan dalam skema yang disebut Climate Budget Tagging.

"Belanja adaptasi itu sektor yang paling banyak, 47,1 persen adalah ketahanan air, pembangunan waduk, embung dan sebagainya, irigasi untuk mendukung pertanian kita," ujar Boby dalam acara Penyusunan National Adaptation Plan, Jumat (2/5/2025).

Baca juga: Perubahan Iklim, Salju Akan Makin Langka pada Akhir Abad Ini

Kini, pihaknya mengembangkan sistem auto tagging di tingkat provinsi yakni Regional Climate Budget Tagging (RCBT). Boby menjelaskan, sistem tersebut menggunakan kata kunci yang otomatis mengidentifikasi alokasi anggaran terkait mitigasi dan adaptasi.

“Dengan auto tagging kami dapat melihat aksi adaptasi yang sudah dilakukan di sektor pertanian, kehutanan, kesehatan dan lain-lain di tingkat daerah,” tutur dia.

Jambi, misalnya, yang mendapatkan pembiayaan berbasis hasil atau RBP dari Bank Dunia melalui mekanisme hibah yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Pemerintah Provinsi menggunakan dananya sendiri, lalu dibantu pendaan dari pihak ketiga.

"Provinsi Jambi sudah berhasil dan kami tentunya siap memfasilitasi bagi pemda atau pemprov lain untuk melihat ini ternyata kita punya modalitas-modalitas seperti ini," ucap dia.

Baca juga: KLH Susun Rencana Adaptasi Nasional Atasi Dampak Krisis Iklim

Beberapa upaya pendanaan adaptasi perubahan iklim dari Kemenkeu mencakup Transfer Anggaran Provinsi/Kabupaten Berbasis Ekologi (TAPE/TIP) yang diinisiasi beberapa daerah, hibah daerah untuk konservasi taman nasional dan program lingkungan lainnya, hingga obligasi daerah sebagai instrumen pinjaman yang diatur regulasi khusus.

Boby menyebut, sejauh ini pemerintah juga telah berupaya mengelola sumber daya air sebagai adaptasi perubahan iklim.

Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, menyatakan bahwa pihaknya dan sejumlah mitra sedang menyusun Rencana Adaptasi Nasional atau NAP untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Pasalnya, penyusunan NAP di Indonesia maupun internasional masih terbilang lambat lantaran baru 51 negara yang menyerahkannya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Baca juga: Gelombang Panas di Asia Selatan Datang Lebih Awal, Ancaman Iklim Makin Nyata

"Oleh karena itu dalam COP 28 di Dubai tahun 2023, didorong bahwa negara-negara yang belum menyelesaikan NAP dapat segera melakukan penyusunan dan dapat men-submitnya di tahun 2025," kata Ary.

Dia berpandangan, perubahan iklim menunjukkan dampak yang makin nyata. Ary mencatat, suhu rata-rata global mencapai 1,59 derajat celsius pada 2024. Angka ini di atas tingkat pra-industri dan melampaui batas aman 1,5 derajat celcius yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Karenanya, diperlukan tindakan adaptasi dan mitigasi nasional maupun global untuk mengatasi krisis iklim tersebut.

"Mulai hari ini kami akan menyusun dokumen NAP Indonesia yang rencananya bisa segera diselesaikan, dan harapannya bisa kami submisi ke UNFCCC sebelum COP ke-30 di Brasil November nanti," jelas Ary.

Baca juga: Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia

Ary menyebut, Indonesia sudah memiliki modal penyusunan NAP, termasuk dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim Bappenas, kebijakan adaptasi perubahan iklim kesehatan, serta peta jalan adaptasi perubahan iklim yang dirilis KLHK.

Penyusunan Rencana Adaptasi Nasional pun termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 98 Tahun 2021, yang mengatur implementasi Perjanjian Paris setelah Indonesia meratifikasinya dengan Undang-Undang 16 Tahun 2016.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB
AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB
Pemerintah
Asia Pasifik Diprediksi Makin Panas, Ancaman untuk Kesehatan dan Infrastruktur
Asia Pasifik Diprediksi Makin Panas, Ancaman untuk Kesehatan dan Infrastruktur
Pemerintah
Mikroplastik Cemari Pakan Ternak, Bisa Masuk ke Produk Susu dan Daging
Mikroplastik Cemari Pakan Ternak, Bisa Masuk ke Produk Susu dan Daging
LSM/Figur
Krisis Iklim Perparah Bencana di Asia Tenggara, Ketergantungan Energi Fosil Harus Dihentikan
Krisis Iklim Perparah Bencana di Asia Tenggara, Ketergantungan Energi Fosil Harus Dihentikan
LSM/Figur
Ada Perusahaan Sawit Diduga Beroperasi di Area Hutan dan Tak Lolos Verifikasi, Sertifikasi Dipertanyakan
Ada Perusahaan Sawit Diduga Beroperasi di Area Hutan dan Tak Lolos Verifikasi, Sertifikasi Dipertanyakan
Swasta
Emisi Kebakaran Hutan Global Jauh Lebih Tinggi dari Prediksi
Emisi Kebakaran Hutan Global Jauh Lebih Tinggi dari Prediksi
LSM/Figur
Indonesia Berpotensi Manfaatkan Panas Bumi Generasi Terbaru, Bisa Penuhi 90 Persen Kebutuhan Industri
Indonesia Berpotensi Manfaatkan Panas Bumi Generasi Terbaru, Bisa Penuhi 90 Persen Kebutuhan Industri
LSM/Figur
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Pemerintah
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Pemerintah
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
LSM/Figur
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Swasta
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Pemerintah
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Pemerintah
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau