KOMPAS.com - Memangkas emisi metana yang berkontribusi terhadap pemanasan global merupakan hal yang penting untuk memenuhi target internasional mengatasi perubahan iklim dan cara tercepat mengekang kenaikan suhu global.
Namun, menurut Badan Energi Internasional (IEA) negara-negara di dunia meremehkan polusi metana sektor energi mereka.
IEA memperkirakan emisi metana yang dilepaskan ke udara sekitar 80 persen lebih banyak dari yang dilaporkan negara-negara kepada PBB.
Kira-kira sepertiga dari seluruh gas metana yang kita lepaskan ke udara itu berasal dari kegiatan di sektor energi.
Gas metana tersebut keluar tanpa sengaja dari saluran pipa gas dan fasilitas energi lainnya. Selain itu, gas ini juga sengaja dikeluarkan saat ada perbaikan atau perawatan alat-alat di sana.
Baca juga: IEA: Emisi Metana Tambang Batu Bara Indonesia Terbesar Ketiga Dunia
Menangani kebocoran metana ini pun dianggap cara yang paling gampang untuk mengurangi polusi.
Akan tetapi Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan berdasarkan data terbaru, implementasi untuk mengatasi masalah metana masih jauh dari target yang diharapkan.
Melansir Phys, Rabu (7/5/2025) Laporan Global Methane Tracker dari IEA menyebutkan bahwa lebih dari 120 juta ton metana dilepaskan dari sektor bahan bakar fosil pada tahun 2024, mendekati rekor tertinggi yang terjadi pada tahun 2019.
Negara yang paling banyak menghasilkan gas metana dari kegiatan energinya adalah Cina, terutama dari pertambangan batu bara.
Setelah itu ada Amerika Serikat, yang banyak menghasilkan metana dari pengeboran minyak dan gas. Urutan ketiga adalah Rusia.
Lebih lanjut, pendekatan IEA dalam mengumpulkan data emisi gas rumah kaca lebih mengandalkan data hasil pengukuran langsung , sementara data pemerintah sering kali berupa perkiraan yang didasarkan pada informasi sektor energi dan mungkin tidak selalu terbaru.
Pemantauan emisi metana secara global telah meningkat berkat penggunaan lebih dari 25 satelit yang mampu mendeteksi dan melacak pelepasan gas metana dari berbagai sumber, termasuk industri bahan bakar fosil.
Ini merupakan perkembangan penting dalam upaya memahami dan mengatasi perubahan iklim karena metana adalah gas rumah kaca yang kuat.
Sekitar 40 persen emisi metana berasal dari sumber alami, terutama lahan basah. Sisanya berasal dari aktivitas manusia, terutama pertanian dan sektor energi.
Karena metana kuat tetapi relatif berumur pendek, metana menjadi target utama bagi negara-negara yang ingin memangkas emisi dengan cepat.
Baca juga: Picu Krisis Iklim, Metana dari Sampah Harus Segera Diatasi
Lebih dari 150 negara telah menjanjikan pengurangan sebesar 30 persen pada tahun 2030. Sementara itu, perusahaan minyak dan gas telah berjanji untuk memangkas emisi metana pada tahun 2050.
IEA memperkirakan bahwa pemotongan metana yang dilepaskan oleh sektor bahan bakar fosil akan memperlambat pemanasan global secara signifikan, mencegah kenaikan suhu global sekitar 0,1 derajat Celsius pada tahun 2050.
"Ini akan memberikan dampak yang luar biasa, setara dengan menghilangkan semua emisi CO2 dari industri berat dunia dalam satu gerakan," tulis laporan itu.
Selain itu sekitar 70 persen emisi metana tahunan dari sektor energi dapat dihindari dengan teknologi yang ada.
Lembaga pemikir energi Ember mengatakan industri bahan bakar fosil perlu mengurangi emisi metana hingga 75 persen pada tahun 2030 jika dunia ingin memenuhi target pengurangan emisi keseluruhan menjadi nol bersih pada pertengahan abad ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya