PULAU SUMBA, KOMPAS.com - Sinar matahari terpantul di atas panel surya yang terbentang di atas bukit di Desa Loko Kalada, Kabupaten sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/5/2025) sore.
Jika ditotal, panel-panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di desa terpencil di tengah Pulau Sumba tersebut memiliki kapasitas 30 kilowatt-peak (kWp).
Panel sruya di sana menjadi salah satu dari puluhan PLTS yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Pulau Sumba.
Baca juga: Bali Punya PLTS Atap Berkapasitas 10,9 GW tapi Pemanfaatannya Baru 1 Persen
Meski PLTS itu diresmikan pada 2023 lalu, salah satu warga, Paulina Kabili, mengaku listrik yang dihasilkan dari pembangkit tidak selalu bisa diandalkan.
"Satu tahun terakhir ini tidak selalu bisa digunakan. Pernah sebulan tidak bisa hidup," kata Paulina saat ditemui wartawan, Kamis.
Menurutnya, warga desa tersebut termasuk dirinya sangat senang ketika PLTS itu dipasang. Pasalnya, sudah terlalu lama desa mereka tidak dialiri listrik meski Indonesia sudah merdeka hampir 80 tahun lalu.
Namun belakangan, listrik yang dihasilkan tidak bisa diandalkan. Kadang, Paulina dan beberapa warga lainnya harus kembali menggunakan pelita jika lampu hanya menyala beberapa jam saja setelah matahari tenggelam.
Kepala Desa Loko Kalada Fransiskus Asisi Ngongobili menuturkan, sebelumnya memang ada operator yang diberi tugas untuk merawat dan menangani segala tetek bengek ihwal PLTS tersebut.
Akan tetapi, operator tersebut bukan berasal dari Loko Kalada. Akibatnya, tidak ada yang bisa menangani dengan sigap jika terjadi kendala. Masalah lainnya adalah soal biaya perawatan.
Baca juga: Proyek PLTS Aslan di Batam Diklaim Bisa Ciptakan 2.000 Pekerjaan
Warga juga sempat dimintai iuran untuk membiayai operasional operator. Bahkan sempat dibentuk badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai lembaga untuk merawatnya.
Akan tetapi, beban iuran yang dibebankan kepada warga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Arus kas BUMDes macet, dan akhirnya anggaran untuk merawat PLTS tidak tersedia.
“Mereka bilang matahari kenapa mesti kita bayar. Tapi saya bilang, alatnya ini bisa rusak kalau tidak dirawat,” kata Fransiskus.
Dia menambahkan, pemerintah desa berulangkali meminta jalan keluar atas permasalahan pelik tersebut kepada pemerintah daerah. Namun sampai sekarang, mereka masih belum mendapatkan solusi yang berarti.
Paulina menuturkan, dia sebetulnya sangat menyayangkan PLTS itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dia sangat berharap panel surya bisa kembali normal dan warga desa bisa mendapatkan listrik secara berkelanjutan.
"Kami tidak mau lagi kembali ke keadaan gelap lagi," tutur Paulina.
Baca juga: Instalasi PLTS Global Diprediksi Tembus 1TW per Tahun di 2030
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya