Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/05/2025, 10:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

PULAU SUMBA, KOMPAS.com - Sinar matahari terpantul di atas panel surya yang terbentang di atas bukit di Desa Loko Kalada, Kabupaten sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/5/2025) sore.

Jika ditotal, panel-panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di desa terpencil di tengah Pulau Sumba tersebut memiliki kapasitas 30 kilowatt-peak (kWp).

Panel sruya di sana menjadi salah satu dari puluhan PLTS yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Pulau Sumba.

Baca juga: Bali Punya PLTS Atap Berkapasitas 10,9 GW tapi Pemanfaatannya Baru 1 Persen

Meski PLTS itu diresmikan pada 2023 lalu, salah satu warga, Paulina Kabili, mengaku listrik yang dihasilkan dari pembangkit tidak selalu bisa diandalkan.

"Satu tahun terakhir ini tidak selalu bisa digunakan. Pernah sebulan tidak bisa hidup," kata Paulina saat ditemui wartawan, Kamis.

Menurutnya, warga desa tersebut termasuk dirinya sangat senang ketika PLTS itu dipasang. Pasalnya, sudah terlalu lama desa mereka tidak dialiri listrik meski Indonesia sudah merdeka hampir 80 tahun lalu.

Namun belakangan, listrik yang dihasilkan tidak bisa diandalkan. Kadang, Paulina dan beberapa warga lainnya harus kembali menggunakan pelita jika lampu hanya menyala beberapa jam saja setelah matahari tenggelam.

Kepala Desa Loko Kalada Fransiskus Asisi Ngongobili menuturkan, sebelumnya memang ada operator yang diberi tugas untuk merawat dan menangani segala tetek bengek ihwal PLTS tersebut.

Akan tetapi, operator tersebut bukan berasal dari Loko Kalada. Akibatnya, tidak ada yang bisa menangani dengan sigap jika terjadi kendala. Masalah lainnya adalah soal biaya perawatan.

Baca juga: Proyek PLTS Aslan di Batam Diklaim Bisa Ciptakan 2.000 Pekerjaan

Warga juga sempat dimintai iuran untuk membiayai operasional operator. Bahkan sempat dibentuk badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai lembaga untuk merawatnya.

Akan tetapi, beban iuran yang dibebankan kepada warga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Arus kas BUMDes macet, dan akhirnya anggaran untuk merawat PLTS tidak tersedia.

“Mereka bilang matahari kenapa mesti kita bayar. Tapi saya bilang, alatnya ini bisa rusak kalau tidak dirawat,” kata Fransiskus.

Dia menambahkan, pemerintah desa berulangkali meminta jalan keluar atas permasalahan pelik tersebut kepada pemerintah daerah. Namun sampai sekarang, mereka masih belum mendapatkan solusi yang berarti.

Paulina menuturkan, dia sebetulnya sangat menyayangkan PLTS itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dia sangat berharap panel surya bisa kembali normal dan warga desa bisa mendapatkan listrik secara berkelanjutan.

"Kami tidak mau lagi kembali ke keadaan gelap lagi," tutur Paulina.

Baca juga: Instalasi PLTS Global Diprediksi Tembus 1TW per Tahun di 2030

Rasa memiliki

Penampakan atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah PLTS dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. PROGRAM MENTARI Penampakan atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah PLTS dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Sekitar 50 kilometer perjalanan darat dari Loko Kalada, terbentang 60 kWp PLTS di Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, NTT.

Berbeda nasib dengan panel surya di Loko Kalada, PLTS di Desa Mata Redi tersebut masih berfungsi dengan baik dan dinikmati oleh 234 rumah di sana, bahkan saat siang hari.

PLTS di Desa Mata Redi tersebut telah beroperasi setahun lebih awal daripada Loko Kalada yakni pada 2022. Selain PLTS berkapasitas 60 kWp, ada 35 kWp panel surya yang terpasang di tempat lain di desa tersebut.

Di desa ini, warga yang menerima listrik PLTS diberi kewajiban iuran sebesar Rp 50.000 per bulan dan disetorkan kepada BUMDes Hali Dewa milik Desa Mata Redi.

BUMDes inilah yang mengurusi segala macam urusan dari PLTS hibah dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari) tersebut, yang merupakan kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Kepala Desa Mata Rendi Adrianus Umbu Ratua mengatakan, besaran iuran tersebut disepakati warga dan tertuang melalui peraturan desa (perdes) yang dia keluarkan pada 2022. Selain mengatur iuran, perdes juga mengatur berbagai aturan yang mengikat bagi penikmat listrik PLTS.

Baca juga: Pecah Rekor, Kapasitas PLTB dan PLTS China Salip Pembangkit Listrik Termal

"Warga sangat membutuhkan penerangan. Dan kami akhirnya bekerja sama untuk akhirnya bergotong-royong pada waktu itu (setelah hibah PLTS direalisasikan).

Demonstration Strand Lead Mentari Dedy Haning mengatakan, peran serta masyarakat dan rasa kepemilikan dari mereka menjadi kunci PLTS tersebut bisa berjalan selama ini.

Bahkan, diperlukan metode khusus untuk memberikan edukasi yang disesuaikan dengan sosio-kultural warga di awal-awal program Mentari.

Dia menambahkan, program Mentari bukan sekadar memberikan PLTS lalu ditinggal. Melainkan ada keterlibatan masyarakat yang lebih luas agar pembangkit tersebut bisa terus digunakan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Di samping itu, masyarakat juga diberi pendampingan untuk mengelola dan merawat pembangkit yang telah diberikan.

Baca juga: PLN dan Perusahaan UEA Perluas Kerja Sama Pengembangan PLTS Terapung

"Apa pun programnya. Kalau enggak ada pendampingan dari masyarakat, sama saja," ujar Dedy.

Meski penuh perjalanan yang berliku, PLTS tersebut sudah berjalan selama lima tahun dan akan dilepaskan pendampingannya dalam waktu dekat, tepatnya pada Juli.

Dedy menjelaskan, program Mentari terbagi menjadi tiga pilar pendampingan yang berjalan selama lima tahun lamanya.

Tahun pertama adalah pelatihan dan edukasi kepada masyarakat. Tahun kedua dan ketiga adalah co-creation atau aksi kolaboratif yang melibatkan semua elemen masyarakat. Terakhir, tahun keempat dan kelima adalah mentoring.

Dia menuturkan, rasa memiliki PLTS sebenarnya sudah dipupuk sejak tahun pertama program dimulai.

"Tapi orang enggak sadar sampai tahun ketiga. Melalui berbagai masalah yang dilewati, mereka akan terpupuk rasa memiliki," papar Dedy.

Baca juga: Pengembangan Energi Terbarukan Pecahkan Rekor Lagi, PLTS Paling Banyak

Bukan sekadar listrik

Warga bermusyawarah di Balai Desa Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) di pada Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.PROGRAM MENTARI Warga bermusyawarah di Balai Desa Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) di pada Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Selain memberikan listrik kepada warga, kehadiran PLTS di Desa Mata Redi juga mengaktifkan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat.

Direktur BUMDes Hali Dewa Yanti Sada Mura mengatakan, program pemberdayaan yang sudah dilakukan meliputi pembuatan minyak serai wangi, minyak kemiri, hingga pelatihan pertukangan kayu.

Program pemberdayaan tersebut melibatkan para perempuan yang tergabung dalam kelompok wanita tani (KWT) serta para remaja di desa Mata Redi.

"Semenjak saya bergabung, di situ kami difasilitasi dengan berbagai kegiatan, pelatihan-pelatihan dari Mentari," ucap Yanti.

Berbagai peralatan tersebut dapat dioperasikan berkat listrik yang dihasilkan oleh PLTS di desa. BUMDes bertugas menyerap dan memasarkan hasil produksi dari upaya pemberdayaan warga itu.

Baca juga: Pertama di Indonesia, PLTS dengan Baterai dalam Kontainer Dibangun di Jambi

Dengan adanya listrik pula, akses warga untuk memasarkan produk-produknya juga lebih mudah.

Sebelum ada listrik, warga harus menuju ke desa terdekat yang sudah dialiri listrik dengan waktu tempuh sekitar setengah jam lamanya hanya untuk mengisi daya ponsel. Kini, warga bisa leluasa mengisi daya ponselnya tanpa perlu keluar rumah.

"Artinya dengan hadirnya PLTS, berarti disitu terang sudah ada. Karena dengan begitu adanya terang, semua akses-akses yang sudah macam sekarang, seperti media sosial, kami sudah bisa mengikuti," ujar Yanti.

Kehadiran listrik dari PLTS di Desa Mata Redi ternyata bukan sekadar membawa terang dari gelap gulita.

Lebih dari itu, listrik dari PLTS bisa memberikan peluang ekonomi dan pemberdayaan yang lebih besar dengan peibatan masyarakat yang lebih luas.

Baca juga: Setelah PLTS Booming, China Bakal Pangkas Subsidi Energi Bersih

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau