KOMPAS.com - Peningkatan suhu dapat meningkatkan risiko kanker fatal di kalangan perempuan di beberapa wilayah terpanas di dunia, menurut sebuah studi baru.
Kesimpulan diambil setelah peneliti menganalisis tren kanker di 17 negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
Peneliti menemukan bahwa seiring meningkatnya suhu yang didorong oleh krisis iklim juga meningkatkan pula risiko keparahan empat kanker utama pada perempuan: payudara, ovarium, rahim, dan serviks.
Menurut rekan penulis studi, Dr Sungsoo Chun, kenaikan suhu meningkatkan paparan terhadap karsinogen, mengganggu pemberian layanan kesehatan, dan bahkan dapat memengaruhi proses biologis di tingkat seluler.
Bersama-sama mekanisme itu dapat meningkatkan risiko kanker dari waktu ke waktu.
Baca juga : Dana Kemanusiaan Dipotong, Perempuan di Zona Konflik Kehilangan Penolong Terakhirnya
Namun peneliti memperingatkan bahwa faktor-faktor lokal lainnya, seperti tingkat polusi, paparan gelombang panas, atau perubahan dalam sistem perawatan kesehatan, juga dapat berkontribusi dalam peningkatan risiko kanker.
Dalam studinya, peneliti mencatat setiap kenaikan suhu satu derajat Celsius antara tahun 1998 hingga 2019 dikaitkan dengan peningkatan signifikan secara statistik dalam prevalensi dan mortalitas kanker.
“Seiring meningkatnya suhu, mortalitas kanker di kalangan perempuan juga meningkat, terutama untuk kanker ovarium dan payudara,” kata penulis utama studi, Dr. Wafa Abuelkheir Mataria, dari Universitas Amerika di Kairo.
“Meskipun peningkatan per derajat kenaikan suhu tidak terlalu besar, dampak kesehatan masyarakat kumulatifnya cukup besar,” katanya lagi seperti dikutip dari Independent, Kamis (29/5/2025).
Temuan ini muncul saat Timur Tengah dan Afrika Utara menghadapi proyeksi kenaikan suhu hingga 4 derajat Celsius pada tahun 2050, yang membuat lebih banyak orang terpapar ancaman kesehatan terkait iklim, khususnya perempuan yang sudah rentan karena ketidaksetaraan struktural dan keterbatasan akses layanan kesehatan.
“Perempuan secara fisiologis lebih rentan terhadap risiko kesehatan terkait iklim, khususnya selama kehamilan,” kata Dr Chun.
“Hal ini diperparah oleh ketidaksetaraan yang membatasi akses ke layanan kesehatan. Perempuan yang terpinggirkan menghadapi risiko yang berlipat ganda karena mereka lebih terpapar pada bahaya lingkungan dan kurang mampu mengakses layanan skrining dan perawatan dini,” terang Chun.
Baca juga: Para Perempuan Baja dari Pelosok Sumba yang Lahir Berkat PLTS
Di seluruh wilayah, data menunjukkan kasus kanker ovarium meningkat paling tajam per derajat pemanasan sementara kanker serviks mengalami peningkatan terkecil.
Kanker payudara tetap menjadi yang paling umum, tetapi keempat penyakit tersebut menunjukkan prevalensi dan mortalitas yang lebih tinggi.
Qatar, Bahrain, Yordania, Arab Saudi, Suriah, dan UEA menunjukkan peningkatan terkait suhu yang paling kuat. Di Qatar, misalnya, prevalensi kanker payudara meningkat sebanyak 560 kasus per 100.000 wanita untuk setiap derajat pemanasan, dibandingkan dengan 330 di Bahrain.
Studi ini pun menambah bukti bahwa krisis iklim mengintensifkan beban penyakit global, khususnya di wilayah yang sudah menghadapi ketidakadilan kesehatan.
Peneliti pun mengungkapkan pengawasan dan intervensi yang lebih terarah diperlukan untuk mengatasi risiko yang muncul. Misalnya dengan memperkuat program skrining kanker, membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap iklim, dan mengurangi paparan karsinogen lingkungan.
"Tanpa mengatasi kerentanan mendasar ini, beban kanker yang terkait dengan perubahan iklim akan terus bertambah,” tambah Dr. Chun.
Baca juga: AS Tarik Diri, China Maju Bangun Proyek dan Salurkan Dana Iklim ke Pasifik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya