KOMPAS.com- Negara-negara di dunia kini menghadapi biaya yang jauh lebih besar akibat bencana alam dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Menurut PBB, perkiraan biaya kerugian akibat bencana selama ini jauh di bawah angka sebenarnya. Angka riilnya ternyata 10 kali lipat lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Biaya yang besar ini bukan hanya sekadar kerugian materi, tetapi juga memiliki dampak yang luas dan mendalam di berbagai sektor kehidupan seperti perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.
Temuan tersebut berdasarkan laporan dari UNDRR, lembaga PBB yang bergerak dalam pengurangan risiko bencana.
Melansir laman resmi United Nations, Selasa (27/5/2025) perkiraan saat ini mengenai dampak ekonomi global akibat bencana alam adalah sekitar 200 miliar dollar AS.
Baca juga: NOAA Setop Pelacakan Biaya Bencana Iklim Usai Anggaran Dipangkas Trump
Namun angka perkiraan yang selama ini dipakai sebagai acuan ini menurut kepala analisis risiko global UNDRR Jenty Kirsch-Wood hanya sebagian kecil atau sepersekian dari total biaya sebenarnya yang jauh lebih besar.
Biaya sebenarnya dari dampak bencana alam adalah mendekati 2,3 triliun dollar AS. Angka ini 10 kali lebih besar dari perkiraan 200 miliar dollar AS yang disebutkan sebelumnya.
Kirsch-Wood pun mengingatkan bahwa dunia selama ini meremehkan dan kurang mengukur dampak bencana sehingga dapat menghambat atau memundurkan upaya global untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, biaya cuaca ekstrem tidak hanya diukur dari infrastruktur yang hancur, tetapi juga dari hilangnya tahun-tahun kesehatan, pendidikan, dan kesempatan.
Contohnya saja begini, seseorang yang lahir pada tahun 1990 memiliki peluang 63 persen untuk mengalami banjir dahsyat sekali dalam satu abad dalam hidup mereka.
Sedangkan bagi anak yang lahir pada tahun 2025, kemungkinan itu meningkat menjadi 86 persen.
Selain itu bencana alam yang semakin sering dan intens mengganggu sektor-sektor penting, yang pada akhirnya memperburuk kondisi keuangan negara dan memperlambat proses pemulihan, terutama di negara-negara yang sudah rentan.
Menurut UNDRR, kerugian finansial akibat bencana berlipat ganda dalam dua dekade terakhir.
Laporan juga menunjukkan kerugian yang disebabkan oleh bencana ini paling banyak menimpa orang-orang yang rentan.
Belum lagi, hampir 240 juta orang mengungsi di dalam negeri akibat bencana antara tahun 2014 dan 2023.
China dan Filipina masing-masing melaporkan lebih dari 40 juta orang mengungsi, sementara India, Bangladesh, dan Pakistan mengalami angka yang berkisar antara 10 hingga 30 juta.
Baca juga: Bencana Terkait Air Picu Kerugian hingga 550 Miliar Dolar AS
Kendati demikian tetap ada solusi atau strategi untuk mengurangi dampak finansial kerugian akibat bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Misalnya dengan menggunakan alat atau metode yang sudah terbukti efektif seperti infrastruktur pelindung banjir dan sistem peringatan dini, dapat membantu negara-negara yang paling terkena dampak bencana untuk menekan biaya kerugian yang terus meningkat akibat bencana yang terkait dengan perubahan iklim.
Kamal Kishore, kepala UNDRR, menyatakan bahwa peningkatan investasi dalam pengurangan risiko dan ketahanan dapat membalikkan tren kerugian akibat bencana yang terus membesar saat ini.
"Contohnya, ketika masyarakat di tepi sungai memiliki akses ke perangkat ilmiah untuk perencanaan penggunaan lahan, sumber daya untuk membangun sistem perlindungan banjir, dan sistem peringatan dini, mereka tidak hanya mengurangi kerusakan dan kerugian akibat banjir, tetapi juga menciptakan kondisi untuk kemakmuran dan pertumbuhan berkelanjutan di masyarakat mereka," jelasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya