KOMPAS.com - Lautan memainkan peran krusial sebagai "peredam panas" dalam sistem iklim Bumi.
Dengan menyerap sebagian besar panas yang dihasilkan dari aktivitas manusia yang membakar bahan bakar fosil dan melepaskan gas rumah kaca, lautan telah secara efektif melindungi kita dari dampak pemanasan global yang jauh lebih parah daripada yang kita alami saat ini.
Namun, pelindung utama kita dari dampak terburuk pemanasan global ini kini mulai menderita.
Lautan menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang mengkhawatirkan seperti gelombang panas, hilangnya kehidupan laut, kenaikan permukaan air laut, penurunan kadar oksigen, dan pengasaman, yang semuanya diakibatkan oleh penyerapan karbon dioksida berlebihan dari atmosfer.
Dampak ini tidak hanya membahayakan kesehatan laut tetapi juga seluruh planet.
Baca juga: Peneliti Soroti Dampak Naiknya Air Laut Terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir
Mengutip Phys, Rabu (4/6/2025), Angelique Melet, ahli kelautan di European Mercator Ocean Monitor mengungkapkan, dengan menyerap lebih dari 90 persen kelebihan panas yang terperangkap di atmosfer, lautan memanas semakin cepat.
Panel ahli iklim PBB, IPCC, telah menyatakan bahwa kecepatan pemanasan lautan telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1993.
Suhu permukaan laut rata-rata mencapai rekor baru pada tahun 2023 dan 2024.
Meskipun ada jeda pada awal tahun 2025, suhu tetap berada pada titik tertinggi dalam sejarah, menurut data dari monitor iklim Copernicus Uni Eropa.
Menurut Thibault Guinaldo dari pusat penelitian CEMS Prancis, Laut Mediterania telah memecahkan rekor suhu baru di setiap tiga tahun terakhir.
Laut Mediterania kini menjadi salah satu wilayah laut yang paling parah terkena dampak pemanasan, setara dengan Samudra Atlantik Utara dan Samudra Arktik.
Sementara laporan khusus IPCC tentang samudra menyebutkan fenomena gelombang panas di laut kini terjadi dua kali lebih sering, berlangsung lebih lama, suhunya lebih ekstrem, dan menjangkau wilayah yang lebih luas.
Lautan yang lebih hangat dapat membuat badai menjadi lebih ganas, karena lautan memberikan pasokan panas dan air yang menguap kepada badai.
Pemanasan air laut juga bisa sangat merusak bagi spesies, terutama karang dan padang lamun, yang tidak dapat bermigrasi.
Untuk terumbu karang, diperkirakan antara 70 persen hingga 90 persen akan hilang pada abad ini jika pemanasan global mencapai 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan tingkat pra-industri.
Para ilmuwan memprediksi bahwa batas kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius yang merupakan target paling ambisius dari Perjanjian Iklim Paris kemungkinan besar akan terlampaui pada awal tahun 2030-an, atau bahkan bisa lebih cepat dari itu.
Tanda kerusakan yang mengkhawatirkan lainnya adalah kenaikan muka lautan global.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa laju kenaikan permukaan air laut global telah meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir.
Jika tren ini berlanjut, pada tahun 2100 kecepatan kenaikannya akan kembali berlipat ganda, mencapai sekitar satu sentimeter setiap tahun.
Ada sekitar 230 juta orang di seluruh dunia yang tinggal di daerah yang sangat rendah, kurang dari satu meter di atas permukaan laut.
Populasi ini sangat rentan dan menghadapi ancaman yang semakin besar dari bencana alam seperti banjir dan badai, yang diperparah oleh kenaikan permukaan laut dan perubahan iklim.
Baca juga: Kenaikan Permukaan Air Laut Bisa Jadi Bencana, meski Target 1,5°C Tercapai
"Pemanasan laut seperti halnya kenaikan permukaan laut telah menjadi proses yang tak terhindarkan dalam kehidupan kita," kata Melet.
"Tapi jika kita mengurangi emisi gas rumah kaca, kita akan mengurangi laju dan besarnya kerusakan serta memperoleh waktu untuk adaptasi," paparnya lagi.
Lautan juga tidak hanya menyimpan panas tetapi juga menyerap 20 hingga 30 persen dari semua emisi karbon dioksida manusia sejak tahun 1980. Sebagai akibatnya air menjadi lebih asam.
Pengasaman laut ini berdampak negatif secara signifikan pada organisme laut yang menggunakan kalsium karbonat untuk membangun cangkang, kerangka, atau struktur pelindung lainnya.
"Indikator utama lainnya adalah konsentrasi oksigen, yang jelas penting bagi kehidupan laut," kata Melet.
Penurunan kadar oksigen di lautan merupakan masalah multifaktorial, di mana kenaikan suhu air laut merupakan salah satu pendorong utama yang signifikan.
Tanda rusaknya lautan kita juga terlihat dari es laut yang berkurang.
Gabungan lapisan es laut Arktik dan Antartika turun ke rekor terendah pada pertengahan Februari, lebih dari satu juta mil persegi di bawah rata-rata sebelum tahun 2010.
Ini menjadi lingkaran setan, dengan berkurangnya es laut memungkinkan lebih banyak energi matahari mencapai dan menghangatkan air, yang menyebabkan lebih banyak es mencair.
Hal ini memicu fenomena "amplifikasi kutub" yang membuat pemanasan global lebih cepat dan lebih intens di kutub.
Baca juga: Permukaan Laut Tetap Naik meski Pemanasan Global Dibatasi 1,5 Derajat C
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya