KOMPAS.com — Raja Ampat, surga biodiversitas dunia, kini menghadapi ancaman serius akibat aktivitas pertambangan yang dinilai merusak kekayaan alam di kawasan gugusan pulau Papua Barat tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, Raja Ampat merupakan kawasan sangat istimewa karena letaknya yang berada di pusat segitiga karang dunia. Kawasan ini memiliki lebih dari 553 spesies karang (75% dari seluruh spesies dunia), 1.070 spesies ikan karang, dan 699 jenis moluska. Di darat, terdapat 874 spesies tumbuhan (9 endemik), 114 spesies herpetofauna (5 endemik), 47 spesies mamalia (1 endemik), dan 274 spesies burung (6 endemik). Potensi wisata alamnya juga luar biasa dan telah menjadi destinasi kelas dunia.
Namun, seluruh kekayaan ini terancam oleh aktivitas sejumlah perusahaan tambang yang kini sedang beroperasi dan menjadi sorotan berbagai pihak. Berikut perusahaan-perusahaan yang menambang. Ada yang dinilai bermasalah, ada yang dianggap menjalankan sesuai aturan.
PT Gag Nikel
Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag yang tergolong sebagai pulau kecil. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, persetujuan lingkungan perusahaan ini akan ditinjau kembali, walaupun menyatakan bahwa sejauh ini menjalankan operasional sesuai aturan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, PT Gag Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan wilayah seluas 13.136 hektar. Perusahaan sudah masuk tahap produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No. 430.K/30/DJB/2017, berlaku hingga 30 November 2047.
Perusahaan juga telah memiliki dokumen AMDAL sejak 2014, Adendum AMDAL pada 2022, serta Adendum AMDAL Tipe A yang diterbitkan pada 2024 oleh Menteri LHK. IPPKH dikeluarkan pada 2015 dan 2018, dengan Penataan Areal Kerja (PAK) terbit pada 2020.
Hingga 2025, total bukaan tambang mencapai 187,87 hektar, dan 135,45 hektar telah direklamasi. PT Gag Nikel pun belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Perusahaan ini beroperasi di Pulau Manuran dan Waigeo. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, ASP dinilai bermasalah karena hasil pengawasan PPLH menemukan jebolnya kolam pengendapan yang menyebabkan sedimentasi tinggi dan pencemaran. Selain itu lokasi IUP di Pulau Waigeo sebagian berada dalam Cagar Alam Waigeo Timur.
Walaupun, Kementerian ESDM menyebut PT ASP mengantongi IUP (izin yang diberikan oleh pemerintah) Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No. 91201051135050013, berlaku sejak 7 Januari 2024 hingga 2034, dengan luas 1.173 hektar di Pulau Manuran. Selain itu, untuk aspek lingkungan perusahaan ini memiliki dokumen AMDAL dan UKL-UPL dari tahun 2006.
Namun, dengan merujuk UU Nomor 1 Tahun 2014, kegiatan ini dianggap bertentangan dengan prinsip pengelolaan pulau kecil yang memprioritaskan keberlanjutan ekologis.
Baca juga: KLH Sanksi 4 Tambang Nikel di Raja Ampat, Terbukti Lakukan Pelanggaran Serius
Disisi lain, KLH telah meminta Bupati Raja Ampat untuk meninjau kembali izin lingkungan ASP, baik di Pulau Manuran maupun Waigeo, karena masuk kategori pulau kecil dan kawasan suaka alam. Penegakan hukum pidana dan gugatan perdata akan dilakukan atas indikasi kerusakan yang ditimbulkan.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
Perusahaan ini menjalankan kegiatan di Pulau Kawe, pulau kecil yang berada dalam kawasan hutan produksi. Selain itu, berdasarkan pengawasan KLH, ditemukan pula aktivitas pertambangan seluas 5 hektar yang dilakukan di luar Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), sehingga izin lingkungan akan ditinjau kembali dan pelanggaran kehutanan akan diproses hukum.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya