JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi, mengatakan bahwa perempuan terbukti menjadi agen perubahan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Menurut dia, isu perempuan, adaptasi, dan resiliensi terhadap perubahan iklim tak sekadar mengenai strategi bertahan hidup. Hal ini juga untuk memahami dinamika transformasi sosial di tengah krisis iklim yang makin nyata.
“Dalam satu kasus, mereka (perempuan) mampu melakukan negosiasi sosial dan ekonomi dalam situasi yang menekan. Beberapa perempuan bahkan muncul sebagai role model di komunitasnya,” ujar Nawawi dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).
Nawawi menyebut, perempuan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal maupun nasional. Ini termasuk memastikan suara mereka hadir dalam forum seperti musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) ataupun program pembangunan lainnya.
Baca juga: Perubahan Iklim, Perempuan Terpaksa Jadi Tulang Punggung Tanpa Jaminan Sosial
Namun, ketiadaan akses setara terhadap sumber daya, informasi, dan ruang partisipasi, akan menyebabkan perempuan tetap berada dalam posisi rentan.
"Perempuan bukan sekadar korban perubahan iklim, tetapi juga aktor kunci dalam membangun resiliensi komunitas. Mereka menghadapi risiko lebih besar akibat ketimpangan struktural, namun juga menunjukkan kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan memimpin perubahan," jelas dia.
Nawawi mencatat kaum perempuan kerap kali berada pada lapisan kerentanan ganda, kemiskinan, ketimpangan gender, hingga beban domestik yang tidak diakui secara formal. Di Demak dan Pekalongan, misalnya, di mana perempuan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga akibat banjir rob yang disebabkan perubahan iklim.
"Ketimpangan struktural terlihat ketika perempuan diposisikan sebagai aktor sekunder, bahkan tersier, dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, peran perempuan tidak diakui secara formal dalam skema bantuan atau program pemerintah," ucap Nawawi.
Misalnya, perempuan yang suaminya sering melaut berbulan-bulan kerap tidak diakui sebagai kepala keluarga. Sehingga mereka tidak mendapatkan program bantuan dari pemerintah. Padahal, dalam kenyataan sehari-hari, perempuan inilah yang mengambil alih peran pengelolaan rumah tangga, keuangan, dan bahkan peran komunitas.
Baca juga: Para Perempuan Baja dari Pelosok Sumba yang Lahir Berkat PLTS
Riset menunjukkan, perempuan mulai memegang kendali dalam aktivitas ekonomi dan sosial yang sebelumnya didominasi laki-laki di Sumba.
“Tanpa pelatihan, akses informasi, atau perlindungan sosial yang memadai, perempuan mudah terjerembab dalam pekerjaan informal dan berisiko tinggi,” ungkap Nawawi.
Seperti halnya beberapa sektor industri garmen dan batik yang masih belum menyediakan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Selain itu, banyak perempuan bekerja tanpa kontrak resmi dan tanpa jaminan sosial, menandakan lemahnya perlindungan hukum yang diperparah pembiaran serta pembenaran atas keterpaksaan ekonomi.
Karenanya, dia menekankan perlunya pendekatan interseksional penting dalam membaca kerentanan perempuan. Perempuan kepala keluarga, orangtua tunggal, lansia, hingga penyintas bencana atau migran iklim memiliki tantangan yang berbeda.
Baca juga: IPB Soroti Bias Gender di Sektor Pertanian: Perempuan Tani Masih Terpinggirkan
Lokasi geografis juga memengaruhi perempuan pesisir menghadapi kondisi yang berbeda dari yang tinggal di pegunungan atau perkotaan.
Untuk itu, analisis yang lebih dalam terhadap peran mereka akan memperkaya strategi adaptasi iklim dan memastikan kebijakan yang lebih inklusif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya