Dan di sini, pandangan Ulil bahwa penambangan atau pertambangan itu boleh dan bermanfaat, justru seperti digugat.
Ulil akhirnya jatuh pada normativisme dan sekaligus tekstual, karena pandangannya itu kurang atau tidak menggambarkan kenyataan yang hidup di lapangan.
Baca juga: Pesan dari Raja Ampat untuk Kepulauan Riau: Jangan Gadai Pulau demi Tambang
Saya bukan antipembangunan, juga tidak antipertambangan. Namun mari membawa uraian Hettne di atas ihwal pembangunan.
Katanya, unsur utama pembangunan adalah metafora pertumbuhan. Dengan begitu pembangunan dipahami sebagai organisme, imanen, terarah, kumulatif, dan bertujuan.
Namun agaknya pembangunan tidak selalu begitu. Ia tak selalu terarah dan sebagian hal justru tidak terkendali: Manusia sebagai subjek sering kali tak memetik manfaatnya--sebut saja contoh yang diungkap Greenpeace serta CREA dan Celios di atas.
Dan lingkungan (atau alam) yang kurang diperhitungkan dalam pembangunanisme, justru paling merasakan mudharatnya.
Pada 1970-an sudah ada Ecodevelopment atau pembangunan berwawasan lingkungan. Ada upaya memasukkan orientasi ekologis dalam pembangunan.
Ecodevelopment tidak benar-benar terjadi di banyak bagian dunia, tapi menurut juru bicaranya, dunia akan lebih baik seandainya pembangunan berwawasan ekologi itu terlaksana.
Glaeser (1984), seperti dikutip oleh Bjorn Hettne (1990), mengatakan "Proyek ecodevelopment harus mencantumkan variabel kekuasaan sejak awal sekali. Siapakah yang memiliki kekuasaan untuk memobilisasi sumber daya, untuk menguasai keuntungan maupun menghentikan prosesnya?"
Dalam kasus tambang di Raja Ampat, kekuasaan di situ jelas Pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan otoritasnya dia mencabut IUP untuk empat perusahaan. Namun, dengan kekuasaannya pula, pemerintah pusat tidak mencabut IUP untuk PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan dari BUMN, PT Antam Tbk.
Urusan menghentikan proses pembangunan itu pelik, rumit dan kompleks. Atas nama kue ekonomi, pembangunan harus terus bergerak demi mencapai pertumbuhan, kesejahteraan dan pemerataan.
Dengan atas nama itu, tidak gampang bagi kekuasaan untuk mengucapkan kata berhenti.
Pada akhirnya developmentalisme adalah kepanjangan tangan dan bagian absah dari
kapitalisme. Paham ekonomi ini cenderung rakus, serakah serta sulit berhenti mengeksploitasi sumber daya alam dan mineral--tak peduli jika dengan itu akan merusak lingkungan (ekstraktif).
Jangan-jangan kapitalisme memang bertolak belakang atau tidak cocok dengan mazhab lingkungan.
Dulu, saat revolusi industri berkobar di abad 18, sekarang, abad 21, dan masa-masa yang akan datang ketika bumi makin terkoyak karena industrialisasi yang tak terkendali atas nama pertumbuhan dan kemakmuran.
Mungkin ada baiknya kita menoleh pada Dave Robinson dan Chris Garratt (1994). Manusia adalah warga biosfer--lapisan bumi yang bisa ditinggali oleh makhluk hidup dan jadi bagian penting dari kehidupan di bumi.
Menjaga kestabilan, kesehatan dan kelangsungan biosfer merupakan kepentingan bersama. Karena itu, tegas Robinson dan Garratt, suatu etika lingkungan harus menekankan betapa manusia harus melihat diri sebagai produk dan mungkin rekan planet ini (bumi), dan bukan sebagai PENGUASANYA.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya