Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BRIN: Kerusakan Terumbu Karang Bikin Kita Krisis Seafood

Kompas.com, 24 Juni 2025, 13:31 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Peneliti Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Laut dan Perairan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ofri Johan, mengatakan ekosistem terumbu karang berperan penting dalam memastikan keberadaan ikan-ikan karang yang dapat dikonsumsi sehingga mendukung ketahanan pangan.

“Seperti ikan kakap, ikan kerapu, ikan ekor kuning, mereka tinggal di terumbu karang. Kalau terumbu karang rusak, mereka mungkin akan sulit ditangkap,” ujar Ofri saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/6/2025).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa bukan hanya ikan karang yang bergantung pada ekosistem terumbu karang, tetapi juga biota laut konsumsi lainnya seperti udang dan lobster.

Menurutnya, degradasi ekosistem terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan yang bisa dikonsumsi. Berdasarkan penelitiannya pada tahun 2000 di perairan Padang, Sumatera Barat, Ofri menerima banyak keluhan dari masyarakat pesisir, terutama yang berprofesi sebagai nelayan, tentang berkurangnya hasil tangkapan mereka untuk kebutuhan pangan maupun untuk dijual akibat kerusakan ekosistem terumbu karang pada tahun 1997.

“Mereka bilang, karena ekosistem terumbu karangnya rusak, ikan-ikan jadi tinggal di laut yang lebih dalam. Mereka jadi susah ditangkap. Tetap ada hasil tangkapan, tapi nggak mencukupi,” ujarnya.

Kasus serupa juga ia temukan dalam penelitiannya di Raja Ampat pada tahun 1999. Saat itu, masyarakat setempat mengaku mengalami kesulitan menangkap ikan dalam jumlah yang memadai setelah ekosistem terumbu karang rusak.

“Pada saat itu mereka bilang, sebelumnya mancing dekat-dekat aja udah dapat banyak. Setelah karangnya rusak, mereka harus ke tengah laut, dengan hasil yang tidak sampai setengah dari jumlah sebelumnya,” jelasnya.

Selain itu, menurut Ofri, nelayan juga harus mengeluarkan lebih banyak modal untuk menangkap ikan yang hasilnya bahkan tidak memadai.

“Karena ekosistem terumbu karangnya rusak, nelayan yang biasanya dapat ikan dalam jumlah banyak dalam waktu setengah jam, saat itu sudah dua jam pun hasil tangkapannya masih sedikit,” lanjutnya.

Kondisi tersebut membuat sebagian nelayan akhirnya menggunakan alat tangkap yang semakin merusak ekosistem terumbu karang itu, seperti bom.

Berdasarkan pengalamannya, Ofri menyebutkan bahwa di daerah Natuna, para nelayan bahkan menggunakan racun agar hasil tangkapan lebih banyak.

Baca juga: Cerita Terumbu Karang yang Mati Suri 3.000 Tahun dan Pulih Kembali

“Itu karena permintaan tinggi, kebutuhannya tinggi, tapi hasil tangkapan sedikit dan lama. Makanya mereka ambil cara-cara cepat itu,” ujarnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, BRIN mencoba melakukan pendekatan edukasi kepada masyarakat dengan menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang bisa direhabilitasi. Terumbu karang dapat kembali menjadi rumah bagi ikan konsumsi maupun ikan hias yang juga punya nilai tambah dari sisi pariwisata.

“Kita kasih tahu, kalau ekosistem terumbu karang bagus, maka ikan akan melimpah. Tapi sebaliknya, kalau terus dirusak, maka ikan akan semakin sulit didapat,” ujar Ofri.

Adapun, cara yang ditempuh untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang antara lain melalui transplantasi karang dan spawning.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dari Tanah “Sakit” ke Lumbung Harapan, Ini Kisah Pengawalan Pertanian Jaga Ketahanan Pangan Desa
Dari Tanah “Sakit” ke Lumbung Harapan, Ini Kisah Pengawalan Pertanian Jaga Ketahanan Pangan Desa
BUMN
Kebijakan Pelarangan Sawit di Jabar Disebut Tak Berdasar Bukti Ilmiah
Kebijakan Pelarangan Sawit di Jabar Disebut Tak Berdasar Bukti Ilmiah
LSM/Figur
Sampah Campur Aduk, Biaya Operasional 'Waste to Energy' Membengkak
Sampah Campur Aduk, Biaya Operasional "Waste to Energy" Membengkak
LSM/Figur
Biaya Kelola Limbah Setara Beli Popok Baru, Padahal Fibernya Punya Banyak Potensi
Biaya Kelola Limbah Setara Beli Popok Baru, Padahal Fibernya Punya Banyak Potensi
LSM/Figur
Inovasi Jaring Bertenaga Surya, Kurangi Penyu yang Terjaring Tak Sengaja
Inovasi Jaring Bertenaga Surya, Kurangi Penyu yang Terjaring Tak Sengaja
Pemerintah
Kebijakan Iklim yang Sasar Gaya Hidup Bisa Kikis Kepedulian pada Lingkungan
Kebijakan Iklim yang Sasar Gaya Hidup Bisa Kikis Kepedulian pada Lingkungan
Pemerintah
 RI Belum Maksimalkan  Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
RI Belum Maksimalkan Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
LSM/Figur
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Swasta
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Pemerintah
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
LSM/Figur
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
Pemerintah
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
LSM/Figur
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Pemerintah
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Swasta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau