KOMPAS.com — Di tengah narasi pemerintah tentang transisi energi hijau, praktik di lapangan justru masih menyisakan banyak persoalan.
Policy Strategist Cerah, Al Ayubi, menilai bahwa transisi energi Indonesia masih belum benar-benar hijau.
“Transisi energi kita hijau di narasi, tapi abu-abu dalam praktiknya,” ujarnya.
Al Ayubi menyampaikan bahwa nikel selama ini dilabeli sebagai mineral krusial dalam mendukung dekarbonisasi dunia.
Namun, menurutnya menimbulkan banyak persoalan, mulai dari peningkatan konflik sosial, tekanan ekologis, hingga ketimpangan kekuasaan antara perusahaan dan masyarakat lokal.
“Pertanyaannya, apakah nikel kita benar-benar mendukung transisi energi yang hijau? Jawabannya sampai saat ini belum,” ujar Al Ayubi dalam acara CERAH Insight Talk “Dilema Nikel dan Transisi Energi: Mampukah Standar ESG Melindungi Hak Masyarakat dan Ruang Hidup?” pada Senin (30/6/2025).
Secara kapasitas produksi, Al Ayubi menilai manufaktur Indonesia belum siap untuk membangun pabrik-pabrik yang secara spesifik mendukung kebutuhan transisi energi.
Justru, yang ditemukan di lapangan adalah berbagai masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang bertolak belakang dengan narasi hijau yang disematkan pada industri nikel.
Baca juga: Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo
“Kalau kita bicara emisi, emisi rata-rata nikel kita masih yang terbesar. Bila dibandingkan dengan rata-rata global, kita masih jauh di bawah batas yang ditentukan secara internasional,” jelasnya.
Ia menambahkan, sebagian besar smelter nikel di Indonesia masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Rata-rata emisinya mencapai 58,6 ton CO2 per ton nikel, jauh lebih tinggi dibandingkan 11 ton CO2 per ton nikel yang dihasilkan oleh BHP Nickel West di Australia.
Selain emisi, ekspansi tambang juga berdampak pada deforestasi.
Al Ayubi menyebut sekitar 180.587 hektare konsesi nikel berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Di Halmahera, setidaknya 5.300 hektare hutan tropis telah hilang akibat tambang, memperparah risiko banjir dan merusak ekosistem lokal.
Dari sisi sosial, menurutnya, kualitas keselamatan kerja di sektor ini juga masih rendah. “Banyak terjadi kasus kecelakaan kerja di area-area smelter,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mencontohkan Pulau Wawonii, di mana aktivitas tambang telah mencemari sumber air bersih dan mengurangi hasil pertanian. Di Pulau Kabaena, masyarakat adat Bajau kehilangan mata pencaharian karena degradasi ekosistem laut.
Masalah lainnya adalah pada aspek tata kelola. Menurut Al Ayubi, hingga kini masih ada kesenjangan besar antara standar internasional dengan praktik di Indonesia. Banyak perusahaan nikel belum memperoleh sertifikasi ESG global seperti EU Battery Passport yang akan berlaku pada 2027.
Sementara itu, ia mengatakan satu-satunya penilaian ESG yang cukup spesifik di Indonesia datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, ia menilai penilaian tersebut masih belum transparan.
“Kalau saya lihat dan diskusi, penilaiannya juga nggak terlalu detail. Saya kesulitan melihat bagaimana cara pengukurannya,” katanya.
Ia juga menyoroti regulasi ESG yang masih tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral.
Baca juga: IESR Dorong ASEAN JETP, Potensi Dana Transisi Energi Capai Rp 2.000 Triliun
“Aspek lingkungan diatur dalam UU No. 32/2009, aspek sosial di Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan tata kelola ada di UU No. 27/1998 tentang perusahaan terbatas. Ini masih terpisah-pisah,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini bisa membingungkan perusahaan sendiri dalam memahami apakah mereka sudah sesuai dengan standar ESG atau belum.
Oleh sebab itu, Al Ayubi menekankan bahwa transisi energi tidak boleh dilihat semata sebagai pergantian sumber energi atau jenis kendaraan.
Ia menilai perlu ada perubahan paradigma pembangunan karena tambang dan smelter nikel adalah proyek jangka panjang, yang bisa berlangsung 20 hingga 40 tahun ke depan.
Pemerintah, lanjutnya, perlu meninjau ulang arah kebijakan transisi energi dan mulai melaporkan kinerja ESG secara terstruktur dan terintegrasi.
Sertifikasi ESG serta pelacakan rantai pasok juga perlu diperkuat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga lewat pemantauan berbasis komunitas.
“Transisi energi juga harus melibatkan partisipasi masyarakat,” ujar Al Ayubi.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa transisi tidak boleh hanya fokus pada target teknis seperti pengurangan emisi atau kapasitas energi terbarukan. Prinsip keadilan sosial dan inklusi harus jadi fondasi.
Dengan begitu, katanya, transisi energi Indonesia tidak hanya hijau di narasi, tetapi juga hijau dalam praktiknya.
Baca juga: Duit China Dorong Transisi Energi ASEAN, tapi Politik Global Menahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya