KOMPAS.com - Kondisi investasi di tingkat global saat ini tidak mendukung sektor-sektor industri yang berperan vital dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) PBB.
Pasalnya, laporan "2025 World Investment Report" telah memberikan peringatan bahwa aliran Investasi Langsung Asing (FDI) di dunia saat ini cenderung menjauhi negara-negara dan sektor-sektor yang sebenarnya paling membutuhkan investasi tersebut.
Analisis menunjukkan meskipun Afrika dan Asia Tenggara berhasil menarik lebih banyak Investasi Langsung Asing (FDI) dan menunjukkan pertumbuhan yang kuat dalam hal tersebut, situasi FDI secara global untuk semua negara berkembang tidak membaik.
Dampak negatif ini pun terutama dirasakan di negara-negara yang paling kurang berkembang dan paling rentan secara ekonomi.
Investasi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di negara-negara berkembang mengalami kemunduran besar di hampir semua sektor kunci pada tahun 2024, termasuk infrastruktur, energi terbarukan, air dan sanitasi, serta agrifood.
Baca juga: Ketidakpastian Ekonomi Hambat Investasi Mineral Kritis
Hanya sektor kesehatan yang menunjukkan pertumbuhan positif meski hanya sedikit.
Ini tentu merupakan kabar buruk bagi upaya global untuk mencapai SDG.
Mengutip Down to Earth, Selasa (1/7/2025), secara angka, investasi infrastruktur turun 35 persen, energi terbarukan turun 31 persen, belanja untuk air, sanitasi, dan kebersihan menyusut 30 persen, dan investasi agrifood turun 19 persen.
Hanya kesehatan dan pendidikan yang mencatat kenaikan 25 persen.
Dan sejak SDG diadopsi pada tahun 2015 hingga 2024, hanya ada pertumbuhan investasi yang signifikan di sektor energi terbarukan dan kesehatan.
Lebih lanjut, penurunan pendanaan proyek investasi (IPF) juga telah secara langsung memperburuk kekurangan investasi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya di negara-negara miskin dan paling rentan.
Pembiayaan dari IPF bisa mencapai lebih dari 60-70 persen dari total investasi infrastruktur mereka. Ini menunjukkan ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, ketika IPF menurun, pembangunan infrastruktur mereka langsung terpukul keras, yang pada akhirnya menghambat kemajuan SDG.
Baca juga: Hollywood Beraksi, Desak Penyedia Dana Pensiun Lepas dari Investasi Energi Kotor
Sebagai gambaran, banyak dari Negara-negara Kurang Berkembang berada di benua Afrika dan salah satu hambatan investasi terbesar yang mereka hadapi adalah kurangnya kemampuan untuk memproduksi obat-obatan sendiri.
Meskipun permintaan terhadap obat-obatan di Afrika terus meningkat, benua itu masih mengimpor lebih dari 70 persen kebutuhan obat-obatannya karena kurangnya investasi asing langsung untuk membangun fasilitas produksi obat-obatan di dalam benua itu sendiri.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan IPF ini paling parah terjadi di sektor-sektor infrastruktur yang selaras dengan SDG.
Meskipun minat investor terhadap energi terbarukan sangat kuat secara global, data menunjukkan adanya pola yang jelas bahwa negara-negara berkembang yang lebih maju dan memiliki ekosistem keuangan yang lebih matang telah berhasil mendapatkan sebagian besar kesepakatan investasi di sektor ini.
Laporan PBB ini pun kemudian mendesak agar ada upaya global yang kuat dan terencana untuk mengarahkan ulang investasi agar lebih mendukung pembangunan yang ramah lingkungan, adil, dan merata, terutama dengan memprioritaskan kesenjangan dalam akses digital, infrastruktur, dan pendanaan berkelanjutan di negara-negara yang paling membutuhkan.
Baca juga: Dukung SDG 8, Astra Dorong UMKM Naik Kelas
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya