Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Penyangkal Perubahan Iklim Terus Merongrong

Kompas.com - 03/07/2025, 12:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKALI lagi Ulil Abshar Abdalla harus disebut di sini. Belum lama ini, dalam acara di televisi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyatakan bahwa Perjanjian Paris 2015 dan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sedang "di-contesting" di tanah Eropa.

Masih menurut Ulil, keputusan Jerman yang tergesa-gesa berpindah ke energi terbarukan (renewable energy) telah menyebabkan harga energi di sana melonjak sehingga warga Jerman menjerit.

Ulil saat menanggapi lawan debatnya, Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia, juga bilang perubahan iklim dan pemanasan global telah diinformasikan dengan narasi yang menakut-nakuti (fearmongering).

Saya tidak ingin menyebut kalimat itu sebagai cara bahwa yang bersangkutan sedang menyangkal perubahan iklim.

Namun, jika ditelisik ke barisan logika para penyangkal, kalimat tadi dekat dengan penyangkalan--dalam bentuknya yang lunak, moderat atau paling keras: sinis.

European Center for Populism Studies (ECPS) mendefinisikan penyangkalan terhadap perubahan iklim atau penyangkalan terhadap pemanasan global sebagai penyangkalan, penolakan, atau keraguan tidak beralasan yang bertentangan dengan konsensus ilmiah.

Baca juga: Interupsi untuk Pertambangan: Pembangunanisme Vs Wahabi Lingkungan

 

Sang penyangkal juga ragu, bahkan tak percaya, jika perubahan iklim itu disebabkan oleh manusia (antropogenik).

Pada 2012 silam, Freedom Institute menerbitkan buku "Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim" karya Vaclav Klaus.

Klaus adalah Ceko tulen. Ia memimpin kementerian keuangan Cekoslowakia (1989-1992). Setelah negara itu terpecah, ia menjadi perdana menteri Republik Ceko (1992-1997) dan memimpin transisi ekonomi menuju pasar bebas. Pada 2003-2013, Klaus naik sebagai Presiden Ceko (Britannica).

Buku Klaus juga mengutip Martin Riman, waktu itu Menteri Industri dan Perdagangan Republik Ceko.

Riman menyatakan energi terbarukan tidak ada sangkut pautnya dengan perlindungan lingkungan. Bahkan lebih tidak berkaitan lagi dengan pemanasan global.

Secara sinis, Riman menyebut ambisi politikus Eropa memimpin peperangan melawan pemanasan global sebagai "buang-buang energi".

Di satu sisi, Klaus mengatakan masalah lingkungan global terlalu penting hanya untuk digambarkan dan diputuskan oleh politikus dan ilmuwan.

Di sisi lain, dengan terus terang, ia menyebut ekonomi pasar dalam ancaman serius atas menggejalanya pendekatan sentralistis dalam pengambilan keputusan terkait masalah lingkungan.

Jelas bukan, mazhab lingkungan dinilai sebagai penghalang ekonomi pasar--sendi dan fundamen dari kapitalisme.

Pendek kata, Klaus menganggap mazhab lingkungan sebagai upaya baru dan sistematis untuk menyudahi pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia pertama dan ketiga.

Semua tahu, pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi, soko gurunya adalah industrialisasi dan rakus energi.

Baca juga: 10 Tahun Perjanjian Paris dan Katak dalam Panci Panas

Dan semua juga tahu energi yang digunakan sejak revolusi industri meletup di Inggris abad 18 hingga saat ini adalah energi fosil yang kotor, tidak terbarukan, dan tinggal menunggu waktu untuk habis.

Jadi, melampaui ucapan Riman, energi terbarukan tak hanya baik untuk menghindari dan menurunkan penumpukan gas rumah kaca di atmosfer, dan dengan demikian mengurangi pemanasan global, juga sebagai substitusi terhadap energi fosil yang pasti akan habis. Tak pelak energi terbarukan adalah energi saat ini dan energi masa depan.

Konteks waktu dan masalah yang disinggung oleh Vaclav Klaus, juga Martin Riman di atas, adalah beberapa tahun sebelum Perjanjian Paris 2015 diteken.

Ini babak penting di mana 196 negara menghimpun diri, menyatakan komitmen untuk membuat bumi tidak lebih panas dari 1,5 derajat celcius dibandingkan suhu rata-rata pra-revolusi industri.

Perjanjian Paris satu dekade silam adalah bentuk ketundukan negara-negara di planet bumi untuk menaruh politik di bawah kendali sains.

Politik dan sains bergandengan tangan agar pemanasan global tidak makin menjadi-jadi dan planet itu tetap layak dihuni, saat ini dan di masa depan yang dekat (2100) serta masa depan yang jauh.

Mitigasi dan aksi iklim yang dilaksanakan selepas Perjanjian Paris adalah pernyataan bahwa bumi ini kita pinjam dari generasi mendatang--tak terkecuali generasi Greta Thunberg.

Ia anak muda dari Swedia yang mulai usia 15 tahun telah getol menyuarakan agar pemimpin negara-negara di dunia ini tidak beretorika menyangkut krisis iklim.

Bill Gates, yang Oktober nanti berusia 70 tahun, bilang gas rumah kaca (GRK) yang muncrat di masa revolusi industri tiga abad silam, masih bertahan di atmosfer. Apalagi yang 50 tahun belakangan.

Baca juga: Dua Sisi Gasifikasi Batu Bara

Jadi, tak ada keraguan bahwa pemanasan global itu kenyataan, bukan ilusi dan tipu-tipu. Dengan begitu menyatakan komitmen untuk memangkas secara rutin GRK dalam rumusan Nationally Determined Contribution (NDC) bukan tindakan sia-sia, apalagi berlebihan.

Kalau aspek keadilan dituntut, kewajiban memangkas GRK yang diukur dengan satuan ton CO2 ekuivalen, terutama menjadi kewajiban negara-negara dunia pertama--yang notabene paling besar memuntahkan emisi karbon dan lebih makmur karena mengeksploitasi minyak, gas dan batu bara.

Untuk membuat nol emisi tahun 2050, warga bumi harus sedikit berkorban. Gates menyebut soal tarif listrik premium di negerinya, Amerika Serikat.

Premium berarti warga di sana membayar lebih untuk setiap kilowatt jam listrik dari energi terbarukan. Namun, tren itu akan terus menurun seiring kemajuan teknologi untuk "menghimpun" energi surya, energi angin dan lain-lain.

Di Jerman, harga energi melonjak hingga 31 persen tatkala perang Rusia-Ukraina tahun 2022 lalu karena pasokan gas yang mandek. Ini kondisi tak normal.

Pada Maret 2025, rata-rata harga energi di Jerman sudah lebih murah 3,6 persen dibandingkan satu tahun sebelumnya.

Kontribusi tertinggi berasal dari harga listrik yang turun 4,3 persen. Harga gas alam juga 3,6 persen lebih murah (Clean Energy Wire, 17 April 2025).

Masih merujuk CWE, harga listrik di Jerman ditetapkan dengan cara kerja yang rumit dari pasar grosir listrik Eropa dan Jerman. Harga di bursa listrik bergantung pada "urutan keunggulan" pembangkit listrik.

Permintaan dan penawaran lalu dicocokkan di bursa. Harga ditetapkan bervariasi, tergantung seberapa banyak listrik yang tersedia dari berbagai jenis sumber dan berapa biayanya.

Jika pasokan listrik dari energi angin dan energi surya sedang tinggi, harga listrik hijau bakal lebih murah. Begitu seterusnya.

Meski ada formula premium untuk harga listrik dari energi terbarukan, seperti kata Bill Gates, tren harga listrik dari energi bersih menunjukkan tren turun.

Kementerian ESDM Indonesia menghitung harga listrik PLTS Terapung Cirata, Purwakarta sebesar 5,8 sen dolar AS per kilowatt jam Watt (kWh) atau sekitar Rp 907,6 per kWh.

Ini lebih murah dari tarif listrik ke konsumen rumah tangga nonsubsidi yang mencapai Rp 1.444,70 per kWh. Namun ini masih parsial dan lokal, serta belum mencerminkan PLTS di negeri kita, walau tetap "good news".

Transisi ke energi terbarukan memang terjal. Dan politik selalu mengintip, mengendap-endap dan menunggu waktu untuk memulai serangan serta memukul balik. Sekali tak mencerminkan dinamika kemajuan, bersiaplah digugat.

Partai sayap kanan populis, yakni Alternative for Germany (AfD), misalnya, bergabung dalam barisan yang menyangkal perubahan iklim sebagai strategi kampanye.

Dan seperti gerakan bongkotan yang menyangkal perubahan iklim, AfD tak percaya jika perubahan iklim disebabkan ulah manusia. Kini AfD menjadi kekuatan terbesar nomor dua di parlemen Jerman.

Baca juga: Sampah Karbon Raksasa, Mungkinkah Dihapus?

Amerika Serikat lebih parah. Di sana justru sang "kepala ikan" negara adidaya itu, Presiden Donald Trump yang membidik. AS kembali ke energi fosil, minyak, gas dan batu bara serta mengeluarkan negaranya dari Perjanjian Paris.

Menurut saya, ini tak menjelaskan Amerika karena di masa Joe Biden, negeri Abang Sam setia dengan Perjanjian Paris serta energi terbarukan.

Trump hanya terjebak dalam populisme yang bertopang pada keinginan memenuhi hasrat kinerja ekonomi yang berkilau, tanpa peduli terhadap sains.

Di tanah harapan kaum imigran itu politik sedang menelikung sains, setidaknya hingga empat tahun mendatang.

Pada 2024, suhu global rata-rata telah menyundul level 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-revolusi industri, menurut Copernicus Climate Change Service. Itu berarti melampaui batas toleransi yang ditetapkan Perjanjian Paris.

Mungkin para penyangkal akan bilang itu hal biasa atau tak perlu dibesar-besarkan. Skeptisisme, bahkan sinisme, adalah mesin pematah harapan mereka yang pro-iklim.

Namun, ada modal besar untuk terus optimistis. Survei mutakhir yang dipublikasikan Global Methane Hub, ViriyaENB, WRI Indonesia dan WWF Indonesia menyebutkan, 98 persen responden Indonesia percaya perubahan iklim dan 81 persen di antaranya meyakini kegiatan manusia sebagai penyebab utama (Bisnis.com, 6 Mei 2025).

Survei Indikator Politik Indonesia bareng Yayasan Indonesia Cerah tahun 2021 tak berbeda jauh. Sebanyak 82 persen responden (Gen-Z dan milenial) memiliki kepedulian tinggi terhadap isu perubahan iklim. Dan 61 persen memandang krisis iklim sebagai ulah manusia.

Namun, jangan buru-buru menutup pintu rumah dan tidur. Nasihat Michael Mann dalam "The New Climate War" patut dicamkan.

Dalam buku urutan pertama dari 25 buku rekomendasi Earth.Org tahun 2024 itu Mann mewanti-wanti penduduk bumi.

Kata Mann, industri bahan bakar fosil telah menyesuaikan taktiknya, dari penolakan iklim secara langsung hingga menghalangi dan mengalihkan beban tanggung jawab kepada individu, sehingga menunda tindakan yang diperlukan untuk mendorong perubahan sistemik.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau