JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan, dekarbonisasi transportasi masih menghadapi sejumlah tantangan.
Ketersediaan dan konektivitas transportasi umum di kota besar adalah tantangan pertama. Karenanya, perluasan jangkauan transportasi publik sangat penting dilakukan.
Kedua, masih terbatasnya infrastruktur kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Minat beli masyarakat cenderung masih rendah meskipun harga EV lebih murah dibandingkan pertama kali diluncurkan.
"Sebenarnya mendorong motor listrik harusnya menjadi salah satu prioritas pemerintah. Sayangnya, sampai hari ini subsidi untuk motor listrik masih ditangguhkan, dan ini yang kami melihat dalam enam bulan terakhir ada penurunan penjualan motor listrik," ujar Fabby dalam acara yang diikuti secara daring, Senin (14/7/2025).
Baca juga: Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi
Tantangan dekarbonisasi selanjutnya ialah perilaku masyarakat yang lebih memilih mengendarai kendaraan pribadi berbahan bakar minyak ketimbang transportasi umum.
"Terakhir, tantangannya adalah integrasi kebijakan dan regulasi yang komprehensif dari berbagai sektor terkait transportasi, energi dan juga ekonomi itu perlu diperkuat," imbuh dia.
Fabby mencatat, emisi sektor transportasi mencapai 202 juta ton atau sekitar 27 persen dari total emisi di sektor energi pada 2024.
Dengan skenario business as usual, emisi dari sektor transportasi diprediksi meningkat tiga kali lipat pada 2060. Dia turut menyoroti kualitas bahan bakar yang memperparah kualitas udara.
"Rendahnya kualitas bahan bakar dan peningkatan emisi dari sektor transportasi telah menyebabkan polusi udara yang signifikan, yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan kualitas hidup," jelas Fabby.
Sebuah kajian menyatakan, biaya kesehatan akibat polusi udara di Indonesia bisa mencapai 43 miliar dollar AS per tahun atau sekitar 2,2 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2030.
Baca juga: Dekarbonisasi Industri, Pemerintah Minta Perusahaan Laporkan Data Emisi ke SIINas
"Ini juga perlu menjadi catatan karena semakin banyak kita membakar bahan bakar fosil, maka akan semakin memperburuk pemanasan global dan mengakibatkan perubahan iklim" papar Fabby.
"Jika tidak ditangani dengan serius, masalah ini akan terus meningkat dan menghambat upaya kita untuk mencapai target iklim dan berdampak negatif pada kesejahteraan," lanjut dia.
Dalam kesempatan itu, Fabby menyampaikan tiga strategi dekarbonisasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Transisi ke EV dan penggunaan transportasi umum bakal mengurangi kebutuhan BBM.
"Ini berarti penghematan devisa negara yang signifikan, biaya operasional yang lebih rendah, serta mengurangi subsidi di mana penghematan anggaran tadi bisa diinvestasikan ke sektor-sektor ekonomi yang lebih produktif," ungkap dia.
Berkurangnya BBM juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan produktivitas mereka yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Pembentukan Satgas TEH Bisa Percepat Transisi Energi dan Dekarbonisasi
Ketiga, terbukanya peluang inovasi dan penciptaan lapangan kerja baru dalam teknologi kendaraan listrik, infrastruktur pengisian daya, sistem transportasi, hingga pengembangan energi terbarukan.
"Ini adalah ladang subur bagi penciptaan lapangan kerja baru dan pengembangan industri-industri Indonesia di masa depan," kata Fabby.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya