JAKARTA, KOMPAS.com — Mewujudkan ketahanan pangan hewani menjadi tantangan nyata hingga saat ini.
Ketergantungan pada sapi potong impor dalam lima tahun terakhir justru meningkat, memperlemah kemandirian dan keberlanjutan sistem pangan nasional.
“Awalnya kontribusi lokal ada di 60 persen, lalu turun menjadi 48 persen,” ujar Direktur Utama PT Indo Prima Beef sekaligus Ketua Umum PPSKI, Nanang Purus Subendro, dalam Kagama Leaders Forum Series bertajuk Daulat Pangan di Tengah Disrupsi Geopolitik dan Perang Dagang, Kamis (17/7/2025).
Salah satu penyebabnya adalah siklus produksi ternak yang lebih panjang dibanding sektor pertanian. Dibutuhkan waktu dan biaya lebih besar untuk menghasilkan sapi potong siap konsumsi. Sementara itu, jumlah peternak rakyat masih terbatas.
“Jumlah peternak sapi saat ini sekitar lima juta kepala keluarga,” kata Nanang.
Masalah lainnya adalah minimnya regenerasi. Data menunjukkan 56 persen peternak saat ini berusia di atas 50 tahun. Animo anak muda untuk masuk ke sektor ini rendah karena profesi peternak dianggap tidak keren dan kurang menguntungkan.
“Kalau di sektor lain hilirisasi jadi fokus, justru di peternakan sapi, masalah utamanya ada di hulu,” ujarnya.
Biaya produksi anak sapi (pedet) masih sangat mahal. Bila dihitung secara komersial, dari biaya pakan, tenaga kerja, penyusutan, hingga bunga pinjaman dan hasilnya dinilai tidak sepadan.
Baca juga: Tambang Ancam Ekosistem Kerapu dan Ketahanan Pangan di Raja Ampat
Nanang mengatakan, yang membuat peternak Indonesia masih bisa bertahan, karena sebagian besar peternakan rakyat dijalankan oleh kelompok kecil dengan skala yang tidak berkelanjutan.
Sekitar 63 persen peternak hanya memiliki 1–2 ekor sapi, 30 persen memiliki hingga 10 ekor, dan hanya 7 persen yang menjalankan secara profesional.
“Yang 63 persen ini sangat rentan,” ujar Nanang. Ia menjelaskan, jika tidak ada pendekatan baru untuk memperbanyak peternak, khususnya dari kalangan muda, dan menghasilkan lebih banyak anak sapi, maka ketahanan pangan hewani bisa gagal. Bahkan potensi punahnya sapi juga membayangi.
Nanang menyoroti perbedaan pendekatan dengan negara lain seperti Australia, di mana lahan-lahan dimanfaatkan untuk kepentingan peternak.
Ia mencontohkan, di sana, satu hektare lahan bisa dimanfaatkan untuk tiga indukan sapi. Pakan cukup dari rumput alami, sehingga biaya produksi lebih rendah. Sebaliknya di Indonesia, lahan makin terbatas dan banyak dialihfungsikan menjadi industri atau perumahan.
“Sekarang belum ada anggaran atau solusi konkret untuk penyediaan lahan pakan. Padahal itu penting agar pengembangbiakan sapi jadi lebih terjangkau,” katanya.
Baca juga: Ngebut Capai Swasembada Pangan Setahun, Pemerintah Alokasikan Rp 1,7 T untuk Pompa Air
Karena itu, menurut Nanang, pendekatan peternakan harus diubah. Peternak tidak bisa terus diposisikan sebagai pekerjaan sambilan. Harus ada transformasi ke arah profesionalisme.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya