“Ibu-ibu senang sekali. Selain mendapatkan bimbingan teknis, mereka juga mendapatkan akses untuk menjual karyanya. Dulu, ibu-ibu harus berebut jika ada pembeli yang datang. Sekarang, karya mereka bisa dipasarkan dan menjangkau konsumen yang lebih luas.”
Salah satu perajin Tenun Iban di Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kalbar, Anastasia Cangke (37), mengatakan bahwa Tenun Iban bukan sekadar kain, melainkan jati diri masyarakat Dayak Iban.
Menurutnya, tenun memiliki makna mendalam dalam setiap aspek kehidupan suku Dayak Iban. Pasalnya, setiap momen penting masyarakat Dayak Iban selalu melibatkan kain tenun, mulai saat gawai (pesta adat) hingga upacara adat.
“Kalau tenun hilang, kami sebagai orang Iban pun hilang identitasnya. Karena itu, kami usahakan tenun ini tidak boleh hilang sampai kapan pun,” katanya tegas.
Motif tenun, kata Anastasia, juga memiliki aturan sakral tersendiri. Menurutnya, beberapa motif yang menggambarkan makhluk hidup tidak boleh sembarangan.
Misalnya, penenun yang masih muda atau belum berpengalaman dilarang menggambar motif manusia atau buaya. Ada tahapan dan syarat spiritual yang harus dipenuhi agar motif tersebut bisa diturunkan.
Menurutnya, penenun yang masih pemula atau belum berpengalaman dilarang untuk menggambar motif yang bernyawa.
“Motif-motif seperti itu hanya boleh dikerjakan penenun yang sudah ‘naik tingkat’,” tuturnya.
Sementara itu, Lia Wandira (21) mengaku sudah mengenal tenun sejak usia 12 tahun. Ia belajar secara otodidak dari ibunya.
Lia menilai, ikatan antara tenun dan perempuan Iban sangat erat, seperti ibu dan anak. Ketika seseorang mengaku sebagai orang Iban, orang akan berpikir bahwa perempuan Iban pasti bisa menenun.
“Oleh karena itu, tenun menjadi identitas sekaligus simbol keahlian seorang perempuan Dayak Iban,” kata Lia.
Lia mengaku telah menghasilkan sekitar 10 kain tenun besar. Hasil karyanya belum termasuk selendang kecil yang sering langsung terjual.
Tenun yang paling memuaskan baginya adalah Tenun Sidan. Menurutnya, tenun ini memiliki warna dan motif yang bagus sehingga memotivasi untuk menyelesaikannya.
Selain menenun, mahasiswi Sastra Inggris ini juga mengajar seni tenun dan tari di Rumah Betang. Ini dilakukan untuk memastikan pengetahuan dan keterampilan tradisional tidak terputus.
Tak berhenti di situ, ia juga memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan kekayaan budayanya. Ia sering menyiarkan kegiatan adat di media sosial, seperti kehidupan masyarakat adat dan ritual adat. Kontennya di YouTube mencakup perayaan Gawai dan Tahun Baru.
Lia berkisah, konten yang dibuatnya mendapatkan respons positif, terutama dari pemirsa di Malaysia. Ini pun mendorongnya semakin bersemangat untuk mendokumentasikan kehidupan di kampungnya lebih banyak.
“Saya ingin orang luar tahu tentang tenun kami melalui tangan anak-anak muda Dayak Iban sendiri. Saya wujudkan itu lewat konten media sosial,” ungkapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya