Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya Pengelolaan Pangan Berkelanjutan di Tengah Gejolak Global

Kompas.com, 12 Agustus 2025, 18:56 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com – Krisis iklim, ketidakpastian ekonomi global, dan dinamika geopolitik kian menekan sistem pangan dunia. Akses dan kualitas pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, semakin sulit dijamin, khususnya bagi negara berkembang yang sangat bergantung pada perdagangan internasional.

Eko Ruddy Cahyadi, Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB menyatakan, di tengah situasi tersebut, konsep Sustainable Agrifood Management menjadi kunci untuk memastikan ketahanan pangan sekaligus keberlanjutan lingkungan.

“IPB telah lama menekuni isu ini sebagai core competence. Melalui Summer Course 2025, kami ingin menyediakan platform pembelajaran lintas budaya yang mengintegrasikan pengetahuan teknis di bidang pangan dan pertanian dengan ilmu manajemen,” ujar Eko dalam pembukaan Summer Course yang diselenggarakan oleh Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Senin (11/8/2025).

Baca juga: Pakar IPB: Keamanan Pangan Kunci Sukses Program Makan Bergizi Gratis

Dalam pembukaan tersebut, sejumlah akademisi terkemuka turut memberikan ceramahnya. Salah satunya adalah Prof Johan Sulaeman dari National University of Singapore.

Dampak Tarif Trump terhadap Pangan dan Keberlanjutan

Dalam pemaparannya, Johan Sulaeman menyatakan bahwa kebijakan tarif Presiden Donald Trump, terutama pada sektor pertanian dan pangan, telah memicu distorsi perdagangan global, volatilitas harga komoditas, dan pergeseran rantai pasok.

Di Indonesia, tarif tersebut memukul keras sejumlah ekspor komoditas, di antaranya adalah udang dan sawit.

Untuk udang, sebelum ketentuan tarif baru diberlakukan oleh Trump, AS menyerap sekitar 60 persen dari total ekspor senilai lebih dari 1,5 miliar dolar AS pada 2024. Di luar itu, ketentuan tersebut turut pasar minyak sawit RI.

"Karena itu, penting bagi produsen terutama di Indonesia untuk mencari pasar alternatif seperti China, India, dan negara-negara lain untuk memitigasi kerugian. Kerjasama Selatan-Selatan (kerja sama di antara negara berkembang) penting untuk digagas," ujarnya.

Baca juga: Tambang Ancam Ekosistem Kerapu dan Ketahanan Pangan di Raja Ampat

Secara global, kebijakan tarif AS juga mengacaukan rantai pasok pangan, mendorong biaya logistik, dan menimbulkan fluktuasi besar di pasar kedelai, daging babi, hingga produk susu.

Namun demikian, beberapa negara justru memanfaatkan peluang di tengah kekacauan rantai pasok tersebut. Seperti halnya Brasil yang menjadi pemasok utama kedelai ke China, atau India yang mengisi ceruk permintaan beras dan lentil.

Johan juga menyoroti dampak terhadap keberlanjutan. Mundurnya AS dari Perjanjian Paris mendorong perusahaan di AS mendapatkan pembiayaan bank dengan biaya lebih rendah, meningkatkan emisi, dan menyingkirkan perusahaan yang rentan terhadap iklim dari akses kredit.

Pola serupa, menurutnya, berpotensi terjadi di negara lain yang masih berkomitmen pada perjanjian tersebut.

"Namun demikian, saat ini banyak lembaga keuangan yang sudah mulai memberikan fokus untuk membiayai ke sektor-sektor yang berkelanjutan. Ini juga karena tekanan pemilik dana," jelas dia.

Kolaborasi Global untuk Ketahanan Pangan

Summer Course 2025 yang diinisiasi Departemen Manajemen FEM IPB mengangkat tema Sustainable Food Management in Indonesia.

Kegiatan ini diikuti 80 peserta dari 16 negara, antara lain Indonesia, Thailand, Malaysia, Afghanistan, Rwanda, Myanmar, Yaman, Bangladesh, Pakistan, India, Yordania, Burkina Faso, Sudan, Tunisia, Mesir, dan Botswana.

Program ini menghadirkan 12 sesi kuliah daring dari 12 pembicara, dengan enam di antaranya berasal dari universitas internasional: National University of Singapore, University Hannover (Jerman), Griffith University (Australia).

Baca juga: Trump Minta China Naikkan Impor Kedelai dari AS hingga 4 Kali Lipat

Lainnya adalah University of Saskatchewan (Kanada), University Malaysia Sabah, dan Maastricht School of Management (Belanda). Sementara enam pembicara lainnya berasal dari IPB University, UNIDO Indonesia, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), dan Kompas Gramedia.

“Kolaborasi akademisi dan praktisi ini menjadi kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan riset terbaru, sekaligus merumuskan strategi menghadapi tantangan pangan yang kian kompleks,” tambah Eko Ruddy.

Dengan tekanan global yang terus meningkat, penguatan Sustainable Agrifood Management menjadi semakin mendesak, tidak hanya untuk menjamin ketersediaan pangan, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan dan stabilitas ekonomi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau