JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Konservasi Satwa Liar IPB University, Burhanuddin Masyud, mengatakan bahwa konflik antara manusia dengan gajah masih terjadi. Hal ini disampaikannya, dalam rangka memperingati Hari Gajah Sedunia.
Insiden tertabraknya anak gajah di Perak, Malaysia, misalnya yang terjadi pada 11 Mei 2025 lalu. Dalam kasus itu, Burhanuddin menyoroti perilaku alami gajah yang menunjukkan ikatan sosial kuat.
“Respons induk gajah menyerang truk yang menabrak anaknya menunjukkan insting alami dan ikatan sosial kuat pada gajah. Secara umum, gajah dikenal sebagai satwa liar dengan insting perlindungan tinggi terhadap anaknya,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Senin (11/8/2025).
Baca juga: Ampuh Usir Gajah, Sereh Kini Digagas untuk Ekonomi Warga
Kasus serupa berulang di Tol Pekanbaru–Dumai, beberapa waktu lalu. Menurut dia, kedua kasus kematian gajah sumatera menjadi peringatan dari tumpang tindihnya habitat satwa liar dan permukiman.
Kondisi ini menekankan pentingnya upaya mitigasi konflik manusiia dengan gajah. Dia berpandangan, konsep koeksistensi di mana manusia dan gajah hidup berdampingan di koridor Pekanbaru-Dumai bisa dikembangkam untuk ko servasi satwa dilindungi itu.
“Pendekatan ini integratif, apalagi gajah dekat dengan manusia. Contohnya, penggunaan gajah jinak untuk mengendalikan gajah liar sekaligus diintegrasikan dengan wisata,” tutur Burhanuddin.
Pembangunan terowongan lintasan gajah di Tol Pekanbaru–Dumai juga dinilai sebagai jalan keluar untuk memitigasi konflik. Terlebih, gajah memiliki pola pergerakan alami berulang sesuai musim.
"Sehingga infrastruktur seperti ini penting untuk direplikasi di lokasi lain,” imbuh dia.
Baca juga: Bagaimana Krisis Iklim Bikin Gajah dan Manusia Bertengkar? Ahli Jelaskan
Burhanuddin mencatat, risiko konflik yang sama ditemukan di jalan lintas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Area ini menghubungkan Lampung dengan Bengkulu. Berdasarkan penelitian di wilayah Aceh, konflik bisa diredam melalui penanaman tanaman berbasis preferensi gajah.
"Secara budaya, kerusakan tanaman oleh gajah bisa dianggap sebagai ‘amal sholeh’, selama tidak menimbulkan kerugian ekonomi signifikan,” tutur Burhanuddin.
Dia lalu menegaskan pentingnya kebijakan mitigasi yang sistematis. Setidaknya, ada dua langkah yang harus diambil yakni implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Areal Preservasi (koridor satwa) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Kedua, mengembangkan pusat konservasi gajah sebagai lembaga konservasi eks situ yang berfungsi untuk pelestarian sekaligus wisata edukasi.
“Konservasi tidak boleh berdiri sendiri. Kita harus mampu menyelaraskan pembangunan dan kelestarian alam secara seimbang,” tandasnya.
Baca juga: Jaga Populasi, TN Way Kambas Gencarkan Breeding Gajah Sumatera
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya