KOMPAS.com - Laporan dari Deloitte menunjukkan bencana alam telah menyebabkan kerugian rata-rata hampir 200 miliar dolar AS per tahun terhadap infrastruktur di seluruh dunia selama 15 tahun terakhir.
Laporan tersebut memproyeksikan kerugian itu bisa meningkat menjadi sekitar 460 miliar dolar AS pada tahun 2050.
Laporan itu juga menyatakan bahwa perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana-bencana ini, yang berujung pada kerugian yang lebih tinggi.
Namun, Jennifer Steinmann, pemimpin Bisnis Keberlanjutan Global Deloitte mengungkapkan investasi kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi salah satu solusi mengurangi kerugian tersebut.
"Berinvestasi dalam AI memiliki potensi jangka pendek terbesar untuk membantu mengurangi kerusakan akibat badai, termasuk siklon tropis, tornado, badai petir, hujan es, dan badai salju," katanya seperti dikutip dari ESG Dive, Senin (11/8/2025).
“Bencana alam ini merupakan penyebab terbesar kerugian infrastruktur, karena frekuensinya yang tinggi, jangkauan geografis yang luas, dan intensitasnya yang semakin meningkat,” paparnya lagi.
Baca juga: Bencana Alam Sebabkan Kerugian Ekonomi 135 Miliar Dolar AS di Paruh Pertama 2025
Laporan tersebut memaparkan aplikasi AI seperti pemeliharaan prediktif (predictive maintenance) dan kembaran digital (digital twins) dapat mencegah 15 persen dari kerugian infrastruktur yang diproyeksikan akibat bencana alam.
Ini termasuk kerugian pada jaringan listrik, sistem air, dan infrastruktur transportasi, yang setara dengan penghematan sebesar 70 miliar dolar AS secara global pada tahun 2050.
Aplikasi ini juga dapat membantu perencana kota merancang infrastruktur yang lebih tangguh.
“Berinvestasi dalam AI dapat membantu mengurangi frekuensi atau mempersingkat pemadaman listrik, mempercepat pemulihan sistem setelah badai, atau mengurangi jumlah jalan dan jembatan yang rusak atau tidak dapat digunakan,” terang Steinmann.
Kesimpulan tersebut didapat berdasarkan studi kasus empiris, pemodelan risiko probabilistik, dan perkiraan ekonomi untuk menunjukkan bagaimana AI dapat membantu memperkuat infrastruktur sehingga bisa merencanakan, menanggapi, dan pulih lebih cepat dari bencana alam.
Baca juga: Akademisi UGM: Perubahan Iklim dan Manusia Jadi Pemicu Keringnya Sungai Eufrat
Lebih lanjut, Steinmann mengungkapkan pada saat yang sama pemimpin harus berinvestasi dalam membangun infrastruktur digital dan data yang diperlukan, mendorong kolaborasi antar-sektor, dan membantu memastikan akses ke data berkualitas tinggi.
Hal ini bertujuan agar mereka dapat memaksimalkan efektivitas alat AI dalam tiga fase siklus hidup infrastruktur, yaitu perencanaan, penanggulangan, dan pemulihan.
Sementara itu, kota-kota dapat mengatasi keterbatasan sumber daya dengan bekerja sama dengan pemangku kepentingan sektor swasta dan lembaga penelitian.
Kota juga bisa fokus pada solusi yang lebih hemat biaya, namun memberikan manfaat yang terukur dan terbukti, seperti sistem peringatan dini bertenaga AI.
"Memulai dengan proyek percontohan yang fokus pada satu jenis bahaya seperti badai dan bekerja sama langsung dengan perusahaan swasta atau pusat penelitian, dapat membantu membuktikan manfaat AI dan mendorong adopsi yang lebih luas," kata Steinmann.
Bank pembangunan, perusahaan asuransi, dan lembaga keuangan diketahui juga semakin gencar mendorong strategi pengurangan risiko yang didukung AI. Dorongan ini diberikan melalui model pembiayaan yang fleksibel dan dana inovasi.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Serius Memikirkan Audit AI
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya