KOMPAS.com – Krisis iklim tak hanya memanaskan bumi, tapi juga menambah beban di pundak perempuan.
Di Kupang dan Jakarta Timur, perubahan iklim membuat perempuan dan anak perempuan harus memikul lebih banyak pekerjaan domestik. Di pengungsian, ancamannya kian berat. Risiko kekerasan berbasis gender melonjak.
Temuan itu diungkap Ikrom Mustofa, peneliti perubahan iklim dari Universitas Islam Indonesia (UII). Ia menegaskan, adaptasi dan mitigasi iklim tak boleh mengabaikan perlindungan gender.
Menurut Ikrom, keikutsertaan perempuan dalam pembangunan daerah untuk memperkuat ketahanan iklim dan kebencanaan masih sekadar formalitas. Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah bahkan tak punya data soal gender dan disabilitas.
Baca juga: Bagaimana Krisis Iklim Bikin Gajah dan Manusia Bertengkar? Ahli Jelaskan
"Hambatan partisipasi anak perempuan dalam musyawarah desa, terutama dalam memberikan informasi. Juga di keluarga, perempuan tidak bisa bersuara. Itu merupakan kesenjangan implementasi isu inklusi," ujar Ikrom dalam webinar Pengarusutamaan Sosial Inklusif pada Pembangunan Daerah untuk Memperkuat Ketahanan Iklim dan Kebencanaan, Selasa (12/8/2025).
Ia menambahkan, kelompok marginal menanggung triple burden: risiko bencana dan iklim yang lebih tinggi, akses ke sumber daya adaptasi yang lebih kecil, dan terpinggirkan dalam pengambilan keputusan.
Dari sisi pemerintah pusat, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan, dan Pemberdayaan Masyarakat serta Pemerintah Daerah Wilayah III KemenPPPA, Dewa Ayu Laksmiadi Janapriati, mengatakan bahwa krisis iklim memperparah ketimpangan sosial dan menguatkan norma yang sudah mengakar.
"Dampaknya tentu dirasakan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Di beberapa tempat itu, masih kami rasakanlah perbedaannya," ucap Dewa Ayu.
Ia menyoroti bahwa dampak krisis iklim terhadap perempuan diperbesar oleh peran gender tradisional, minimnya akses sumber daya, mobilitas yang terbatas, kemiskinan, serta konsekuensi sosial dan kebijakan.
Ketimpangan ini, lanjutnya, tampak jelas saat gagal panen, kelangkaan air, bencana iklim, migrasi, hingga konflik dan kemiskinan.
Karenanya, Dewa Ayu menegaskan bahwa kesetaraan gender dalam iklim tak bisa ditunda. Bukan hanya agar dampak iklim tak semakin membebani perempuan, tetapi juga agar perempuan bisa berperan lebih dalam adaptasi dan mitigasi.
Baca juga: Perubahan Iklim Perparah Kerentanan Anak Disabilitas dan Penderita Kusta
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya