JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menghantui Riau. Potensi karhutla meningkat hingga akhir Agustus 2025.
Karena itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menuturkan pihaknya bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI menggelar Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) pada 24-31 Agustus 2025.
“OMC menjadi salah satu instrumen paling efektif dalam mencegah karhutla semakin meluas. Dengan memanfaatkan potensi awan hujan, kita berupaya menekan risiko kebakaran sekaligus menjaga kebasahan lahan," ungkap Dwikorita dalam keterangannya, Senin (26/8/2025).
Dia menyebutkan bahwa OMC terbukti efektif menekan laju kebakaran. Di Riau, misalnya, sempat terdeteksi 173 titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi pada 19 Juli 2025. Setelah OMC dilakukan pada 21 Juli, jumlahnya menurun drastis hingga nol titik panas pada 28 Juli.
Baca juga: Karhutla di Sumatera Picu Kematian Gajah akibat Terbakarnya Habitat
“Selama pelaksanaan OMC 10–19 Agustus lalu, wilayah rawan karhutla di Riau berhasil dijaga tetap aman dengan catatan zero hotspot. Ini bukti nyata peran teknologi dalam mitigasi bencana,” jelas Dwikorita
OMC yang digelar di berbagai provinsi rawan kebakaran sejak Juli hingga Agustus telah menurunkan hujan dengan tingkat keberhasilan 85–100 persen, menyumbang lebih dari 586,1 juta meter kubik air hujan untuk membasahi lahan.
Air ini dapat menekan potensi kebakaran sekaligus menjaga kelembaban tanah di titik-titik kritis.
Dwikorita mencatat, sebagian besar wilayah Riau diprediksi masuk kategori bahaya tinggi hingga sangat tinggi pada 26-28 Agustus. Berdasarkan data BMKG, puncak musim kemarau di Riau sebagian besar sudah terjadi pada Juni-Juli, sementara Indragiri Hilir baru mengalaminya pada Agustus ini.
Pada dasarian (rentang waktu selama 10 hari) ke-III Agustus, sebagian besar wilayah Riau masih mengalami curah hujan rendah, yakni 20–50 milimeter (mm) per dasarian.
Namun demikian, intensitas hujan diperkirakan mulai meningkat pada September, dengan curah hujan menengah berkisar 50–75 mm per dasarian.
"Meski ada peluang hujan, kondisi cuaca saat ini masih menuntut kewaspadaan. Analisis dinamika atmosfer menunjukkan gelombang atmosfer Rossby Ekuator tengah aktif di Sumatera bagian utara hingga tengah, ditambah suhu muka laut yang hangat di Selat Malaka dan pesisir barat Sumatera," kata Dwikorita.
Kendati faktor tersebut mampu memicu pembentukan awan hujan, akan kondisi atmosfer yang lebih kering dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Sementara itu, citra satelit Himawari-9 mendeteksi sebaran asap di Kalimantan Barat yang bergerak ke arah barat laut–utara, sejalan dengan angin dominan dari timur ke tenggara pada 24 Agustus lalu.
Baca juga: Studi: Kematian akibat Karhutla 93 Persen Lebih Tinggi dari Perkiraan
Di hari yang sama, terpantau 1.003 titik panas di seluruh Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan (675 titik). Sedangkan di Sumatera termasuk Riau tercatat 38 titik panas dengan tingkat kepercayaan rendah, dan satu titik dengan tingkat kepercayaan tinggi.
BMKG menekankan pentingnya kewaspadaan masyarakat terutama di Riau, agar tidak membakar lahan atau membuang puntung rokok sembarangan.
“Perlu gotong royong semua pihak. OMC bukan satu-satunya solusi. Dukungan masyarakat untuk menjaga lingkungan dari api adalah benteng utama pencegahan karhutla,” papar dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya