KOMPAS.com - Indonesia membutuhkan paradigma keadilan ekologis dalam pengelolan hutan.
Paradigma keadilan ekologis tersebut tidak memisahkan antara kepentingan ekonomi, upaya mempertahankan kelestarian alam, serta menjaga hubungan sosial dengan masyarakat setempat.
Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Uli Arta Siagian, paradigma keadilan ekologis tersebut sudah dipraktikkan berbagai masyarakat di Indonesia, sehingga perlu dijadikan modal sosial dan difasilitasi agar tetap lestari.
"Syaratnya, perlindungan ekosistem. Kalau misalnya negara itu mempercayai rakyatnya punya cara dan pengetahuan untuk melindungi ekosistemnya, maka ada ekonomi yang baik di sana. Kami punya banyak kasus di Sulawesi, di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, semua ekonomi-ekonomi yang ada di masyarakat sekarang itu bertumbuh pada kondisi ekologinya. Ketika kondisi ekologinya bangkrut, maka bangkrutlah sebenarnya ekonomi ini," terang Uli dalam webinar Urgensi Revisi Total UU Kehutanan untuk Perlindungan Sosial-Ekologis Nusa Tenggara Timur, Kamis (28/8/2025).
Ia menilai, kebijakan untuk menjaga ekologi merupakan bagian penting dari mempertahankan perekonomian yang sebenarnya menghidupi jutaan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Oleh karena itu, WALHI mendesak pencabutan Undang-Undang Kehutanan (UU Kehutanan) lama dan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang lebih mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial ekologis hari ini dan kebutuhan di masa depan.
Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong RUU Kehutanan Berpihak Perlindungan Rimba dan Masyarakat Adat
"Ancamannya semakin besar, krisis iklim semakin parah, sedangkan generasi mendatang itu punya hak yang sama dengan kita hari ini demikian. Maka, Undang-Undang Kehutanan ini harusnya mampu menjawab semua itu," tutur Uli.
Uli menguraikan UU Kehutanan perlu direvisi secara komprehensif, bukan sekadar mengubah pasal per pasal, mengingat kegagalan perbaikan sebelumnya dalam mengatasi permasalahan kehutanan dan dampak buruk dari praktik pengelolaan hutan saat ini.
Secara filosofis, UU Kehutanan masih mencerminkan asas kolonial dengan penggunaan konsep yang serupa Domein Verklaring, sehingga memungkinkan negara memiliki otoritas sangat besar terhadap kawasan hutan, yang pada gilirannya memarginalisasi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Ketika negara menunjuk suatu wilayah sebagai kawasan hutan negara, maka orang-orang yang berada di dalamnya tidak mampu membela haknya.
"Itu diperparah sekarang melalui satgas-satgasan ini ya, satgas penertiban kawasan hutan ya, melalui Perpres 5 tahun 2025. Di mana yang ditentukan bukan hanya sawit-sawit atau tambang dalam kawasan hutan, tetapi masyarakat-masyarakat adat, komunitas lokal yang hidup di dalam kawasan hutan. Jadi, ada kekhawatiran besar ke depan kalau kemudian praktik ini tetap berkelanjutan, ribuan atau bahkan mungkin jutaan masyarakat adat dan komunitas lokal yang saat ini masih menjadi korban konflik tenurial itu akan menjadi korban lagi akibat militerisasi yang semakin menguat," ucapnya.
Secara sosiologi, UU Kehutanan gagal mengakui pemaknaan hutan masyarakat adat dan lokal karena dibentuk oleh ilmu kehutanan. Dari sudut pandang tersebut, kata dia, upaya masyarakat adat dalam melakukan konservasi terhadap kawasan hutannya tidak diakui.
Di sisi lain, konflik tenurial semakin luas dan belum ada yang terselesaikan karena negara memilih untuk memberikan impunitas terhadap korporasi pelanggar hukum dan mengkriminalisasi masyarakat.
"Jauh lebih mudah sebenarnya pemerintah itu memberikan impunitas atau memberikan pemutihan kepada korporasi yang selama ini melakukan kejahatan kehutanan daripada memberikan hutan adat kepada masyarakat adat," ujar Uli.
Selain itu, proyek-proyek energi dan pangan juga memperkuat perampasan hutan serta deforestasi atas nama swasembada, yang seolah-olah negara berhak mengubah hutan adat milik masyarakat menjadi perkebunan atau lahan untuk cetak sawah baru.
Selain mendesak penyusunan UU Kehutanan baru, Uli juga meminta pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim.
Baca juga: 70 Pelaku Kejahatan Kehutanan Ditangkap, Bakar Lahan hingga Jual Hewan Dilindungi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya