Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim Makin Parah, WALHI Desak Revisi UU Kehutanan Berparadigma Keadilan Ekologis

Kompas.com, 30 Agustus 2025, 13:10 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia membutuhkan paradigma keadilan ekologis dalam pengelolan hutan.

Paradigma keadilan ekologis tersebut tidak memisahkan antara kepentingan ekonomi, upaya mempertahankan kelestarian alam, serta menjaga hubungan sosial dengan masyarakat setempat.

Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Uli Arta Siagian, paradigma keadilan ekologis tersebut sudah dipraktikkan berbagai masyarakat di Indonesia, sehingga perlu dijadikan modal sosial dan difasilitasi agar tetap lestari.

"Syaratnya, perlindungan ekosistem. Kalau misalnya negara itu mempercayai rakyatnya punya cara dan pengetahuan untuk melindungi ekosistemnya, maka ada ekonomi yang baik di sana. Kami punya banyak kasus di Sulawesi, di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, semua ekonomi-ekonomi yang ada di masyarakat sekarang itu bertumbuh pada kondisi ekologinya. Ketika kondisi ekologinya bangkrut, maka bangkrutlah sebenarnya ekonomi ini," terang Uli dalam webinar Urgensi Revisi Total UU Kehutanan untuk Perlindungan Sosial-Ekologis Nusa Tenggara Timur, Kamis (28/8/2025).

Ia menilai, kebijakan untuk menjaga ekologi merupakan bagian penting dari mempertahankan perekonomian yang sebenarnya menghidupi jutaan masyarakat adat dan komunitas lokal.

Oleh karena itu, WALHI mendesak pencabutan Undang-Undang Kehutanan (UU Kehutanan) lama dan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang lebih mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial ekologis hari ini dan kebutuhan di masa depan.

Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong RUU Kehutanan Berpihak Perlindungan Rimba dan Masyarakat Adat

"Ancamannya semakin besar, krisis iklim semakin parah, sedangkan generasi mendatang itu punya hak yang sama dengan kita hari ini demikian. Maka, Undang-Undang Kehutanan ini harusnya mampu menjawab semua itu," tutur Uli.

Urgensi Revisi UU Kehutanan

Uli menguraikan UU Kehutanan perlu direvisi secara komprehensif, bukan sekadar mengubah pasal per pasal, mengingat kegagalan perbaikan sebelumnya dalam mengatasi permasalahan kehutanan dan dampak buruk dari praktik pengelolaan hutan saat ini.

Secara filosofis, UU Kehutanan masih mencerminkan asas kolonial dengan penggunaan konsep yang serupa Domein Verklaring, sehingga memungkinkan negara memiliki otoritas sangat besar terhadap kawasan hutan, yang pada gilirannya memarginalisasi masyarakat adat dan komunitas lokal.

Ketika negara menunjuk suatu wilayah sebagai kawasan hutan negara, maka orang-orang yang berada di dalamnya tidak mampu membela haknya.

"Itu diperparah sekarang melalui satgas-satgasan ini ya, satgas penertiban kawasan hutan ya, melalui Perpres 5 tahun 2025. Di mana yang ditentukan bukan hanya sawit-sawit atau tambang dalam kawasan hutan, tetapi masyarakat-masyarakat adat, komunitas lokal yang hidup di dalam kawasan hutan. Jadi, ada kekhawatiran besar ke depan kalau kemudian praktik ini tetap berkelanjutan, ribuan atau bahkan mungkin jutaan masyarakat adat dan komunitas lokal yang saat ini masih menjadi korban konflik tenurial itu akan menjadi korban lagi akibat militerisasi yang semakin menguat," ucapnya.

Secara sosiologi, UU Kehutanan gagal mengakui pemaknaan hutan masyarakat adat dan lokal karena dibentuk oleh ilmu kehutanan. Dari sudut pandang tersebut, kata dia, upaya masyarakat adat dalam melakukan konservasi terhadap kawasan hutannya tidak diakui.

Di sisi lain, konflik tenurial semakin luas dan belum ada yang terselesaikan karena negara memilih untuk memberikan impunitas terhadap korporasi pelanggar hukum dan mengkriminalisasi masyarakat.

"Jauh lebih mudah sebenarnya pemerintah itu memberikan impunitas atau memberikan pemutihan kepada korporasi yang selama ini melakukan kejahatan kehutanan daripada memberikan hutan adat kepada masyarakat adat," ujar Uli.

Selain itu, proyek-proyek energi dan pangan juga memperkuat perampasan hutan serta deforestasi atas nama swasembada, yang seolah-olah negara berhak mengubah hutan adat milik masyarakat menjadi perkebunan atau lahan untuk cetak sawah baru.

Selain mendesak penyusunan UU Kehutanan baru, Uli juga meminta pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim.

Baca juga: 70 Pelaku Kejahatan Kehutanan Ditangkap, Bakar Lahan hingga Jual Hewan Dilindungi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau