Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polusi Udara Kian Parah, Pemerintah Didesak Terapkan Baku Mutu Nasional

Kompas.com - 25/06/2025, 20:07 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyatakan bahwa kualitas udara di Indonesia, khususnya wilayah Jabodetabek, semakin memburuk.

Oleh karena itu, pemerintah didesak untuk segera menerapkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional guna memperbaiki kualitas udara dan melindungi kesehatan masyarakat.

Baku Mutu Udara Ambien Nasional adalah standar yang menetapkan batas maksimum kadar zat, energi, dan/atau komponen pencemar yang diperbolehkan berada dalam udara ambien (udara di sekitar kita).

Penerapan standar ini bertujuan mengendalikan pencemaran udara serta memastikan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.

Penelitian yang dilakukan pada 2024 menunjukkan bahwa tingkat PM2.5 di wilayah Jabodetabek mencapai 30–55 g/m³, atau sekitar 6–11 kali lipat di atas ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan 5 μg/m³.

PM2.5 merupakan partikel berbahaya karena dapat masuk ke bagian terdalam paru-paru dan mengalir dalam darah, meningkatkan risiko berbagai penyakit.

Tidak hanya Jabodetabek, analisis CREA juga menunjukkan bahwa kualitas udara di hampir seluruh kota di Pulau Jawa masuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif.

Purwakarta (56,9 μg/m³) dan Bandung (40 μg/m³) kini turut masuk daftar kota dengan kualitas udara buruk. Sementara di kota-kota padat penduduk di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua, kadar rata-rata PM 2.5 tahunan berkisar antara 18–26 μg/m³ atau masuk dalam kategori kualitas udara sedang.

Baca juga: Mikroplastik Ditemukan di Udara Indonesia, Bisa Picu Autoimun

Analis CREA, Katherine Hasan, mengatakan bahwa meski Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan kualitas udara, bukan berarti pemerintah bisa terus menunda penerapan Baku Mutu Udara Ambien Nasional.

“Kami mendesak pemerintah untuk segera menangani semua masalah kualitas udara,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (25/6/2025).

Menurut Katherine, desakan masyarakat sipil terhadap isu ini sudah berlangsung lama melalui berbagai saluran, mulai dari gugatan warga negara, demonstrasi publik, kampanye media sosial, hingga inisiatif yang dipimpin masyarakat. 

Ia menilai bahkan kualitas udara sudah menjadi isu nasional yang diperbincangkan secara luas, termasuk dalam debat Pemilihan Presiden 2024.

Namun demikian, Indonesia hingga saat ini belum memiliki komitmen nasional yang menetapkan target pengurangan polutan udara secara spesifik sampai batas waktu tertentu.

Menurutnya, karena isu ini bahkan sudah dibahas dalam forum politik seperti Debat Presiden, ini bisa menjadi landasan kuat untuk menuntut tindak lanjut dari Presiden Prabowo dan kabinetnya.

“Hal ini perlu dibuktikan dengan konsolidasi kewenangan dan koordinasi dalam tata kelola kualitas udara, penguatan kebijakan, rencana aksi, kerangka hukum, dan alokasi sumber daya yang memadai untuk mengatasi masalah ini,” tegasnya.

Di sisi lain, Katherine juga menyoroti lemahnya sistem pemantauan kualitas udara nasional. Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan pemantauan, terlebih setelah dihentikannya layanan pemantauan udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat pada Maret lalu. Dua monitor udara milik Kedubes AS yang terpasang sejak 2015 di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, kini salah satunya sudah tidak aktif. Jika kondisi ini berlanjut, Jakarta Selatan akan hanya memiliki satu alat pemantauan kualitas udara.

CREA mencatat bahwa keengganan Indonesia untuk membangun sistem pemantauan yang transparan akan menghambat pengelolaan kualitas udara secara efektif. Akses publik terhadap data kualitas udara merupakan hal krusial dalam menghadapi krisis lingkungan ini. Misalnya, sektor kesehatan memerlukan informasi akurat untuk mempersiapkan respons terhadap lonjakan dampak polusi udara.

Katherine menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mengurangi polusi udara. Menurutnya, pembangkit listrik termal merupakan sektor yang potensial untuk ditangani secara lebih sistematis, mengingat sumber pencemarnya teridentifikasi dengan baik dan sudah memiliki kerangka peraturan yang mapan. Hal ini memungkinkan pemantauan dan pengawasan yang lebih ketat, baik oleh otoritas nasional maupun lembaga internasional.

Dari keseluruhan temuan dan desakan ini, menjadi jelas bahwa penanganan polusi udara bukan hanya soal teknis lingkungan, melainkan bagian yang saling terhubung dari agenda pembangunan berkelanjutan. Udara bersih adalah hak dasar yang harus dijamin negara demi kesehatan publik, keadilan antargenerasi, dan keberlanjutan ekosistem.

Baca juga: Riset: Green Roof Kurangi Mikroplastik di Udara hingga 97,5 Persen

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau