KOMPAS.com – Solusi krisis gizi di Indonesia tidak terletak pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan food estate, tetapi reforma agraria yang memberi kendali tanah dan pangan kepada rakyat.
Itu yang ditegaskan dalam diskusi dua-mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang digelar Lapor Iklim, CELIOS, dan Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) pada Selasa (30/9/2025).
Para pembicara sepakat, proyek food estate dan MBG bukan hanya gagal menjawab masalah mendasar, tapi justru memperdalam ketidakadilan struktural, merugikan petani kecil, dan mengancam kelompok rentan, mulai dari perempuan, anak, hingga masyarakat adat.
Guru Besar IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa, menekankan perbedaan mendasar antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
“Ketahanan pangan bisa dicapai dengan memproduksi pangan dari manapun, tetapi kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika petani memiliki kendali atas tanah, benih, dan kebijakan yang berpihak,” ujarnya.
Baca juga: MBG: Janji Kesehatan Anak Bangsa yang Terancam oleh Buruknya Tata Kelola
Ia menilai seluruh proyek food estate melanggar empat pilar utama pembangunan pangan, mulai dari kelayakan tanah hingga aspek sosial-ekonomi.
“Jika dipaksakan, food estate hanya akan melahirkan krisis baru,” tegasnya.
Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, bahkan menyebut food estate sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas pangan.
“Sejak 2018, kasus kelaparan berulang di Papua menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban dasarnya. Hingga kini, 17,7 juta orang mengalami kelaparan dan lebih dari 123 juta jiwa tidak mampu mengakses pangan bergizi. Ironisnya, konsumsi makanan ultra-proses seperti mie instan justru terus meningkat,” ungkap Marthin.
Menurutnya, jawaban atas krisis pangan bukanlah mega proyek baru, melainkan reformasi agraria yang menempatkan petani kecil dan masyarakat adat sebagai produsen utama.
Senada, Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengingatkan bahwa pangan adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi negara.
“Masyarakat adat, perempuan, anak, petani kecil, dan kelompok marginal adalah pihak yang paling rentan, tetapi justru paling sering dikorbankan. Pembangunan pangan tidak boleh melanggengkan penggusuran, pencemaran, atau kriminalisasi. Negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi semua warga,” katanya.
Baca juga: Kemenko Pangan: MBG Kurang Ikan, Perlu Manfaatkan Pangan Akuatik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya