Beberapa fauna yang teridentifikasi, antara lain monyet digo (Maccaca ochreata), Kangkareng Sulawesi, Kadalan Sulawesi, Elang ular Sulawesi, babi hutan Sulawesi dan Rusa Timur.
Head of Mine Operation Head of Mine Operation Sorowako PT Vale Indonesia Mohamad Iqbal Al Farobi menuturkan, Himalaya Hill merupakan area pascatambang yang mulai direklamasi pada 2005–2006 dan kini ditetapkan sebagai kawasan arboretum (area konservasi).
Setelah hampir 19 tahun, indikator keberhasilan makin terlihat. Indikator tersebut di antaranya tumbuhan dasar kembali ditemukan, anakan pohon tumbuh alami, dan fauna mulai kembali.
Keberadaan anakan pohon, menurut Iqbal, menjadi salah satu parameter penting karena menandakan siklus ekologi sudah berjalan mandiri.
Baca juga: Vale Bakal Luncurkan Program Intervensi Stunting di Tujuh Provinsi
“Kondisi itu menunjukkan, secara ekologi, area reklamasi sudah berfungsi—minimal mendekati kondisi alaminya,” ucapnya.
Iqbal juga menambahkan bahwa arboretum tidak hanya berfungsi sebagai kawasan konservasi, tetapi juga sumber bibit untuk memperkuat keanekaragaman spesies di masa depan.
Selain satwa, pemulihan ekosistem di Himalaya Hill juga ditandai dengan ketersediaan pakan alami. Pohon Ficus septica atau awar-awar, misalnya, menghasilkan buah mirip tin liar yang menjadi sumber makanan bagi burung dan primata.
Kehadiran tanaman endemik seperti Pericopsis mooniana (kayu kuku) dari Kolaka, Sulawesi Tenggara, serta eboni dan agathis atau damar turut memperkaya habitat dan memberi ruang bagi spesies satwa yang lebih sensitif. Selain itu berbagai spesies multi purpose tree species (MPTS) juga menambah kekayaan hayati area arboretum himalaya.
Baca juga: Pertamina dan Vale Indonesia Kolaborasi Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Lapisan vegetasi yang kini terbentuk, mulai dari pakis di strata bawah, perdu, hingga pohon tiang dan pancang, menciptakan hutan dengan struktur berlapis. Kondisi ini menyediakan perlindungan, tempat bersarang, dan sumber pakan beragam, sehingga mendorong kembalinya satwa endemik Sulawesi ke kawasan ini.
Lebih dari sekadar reklamasi, PT Vale juga berupaya menciptakan nilai berkelanjutan bagi masyarakat lokal melalui program-program agroforestri. Meskipun area arboretum di dalam konsesi masih belum terbuka untuk umum, perusahaan telah menyiapkan peta jalan untuk pengembangan agroforestri di lahan yang berbatasan langsung dengan komunitas.
Program ini bertujuan untuk mengintegrasikan kegiatan kehutanan dengan pertanian sehingga masyarakat dapat memanen hasil non-kayu seperti buah-buahan, rempah-rempah, atau komoditas lainnya.
Selain fokus pada reklamasi lahan pascatambang, PT Vale juga menjalankan program rehabilitasi di area Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di luar area Konsesi Perusahaan. Program ini bertujuan untuk memulihkan, memperbaiki, serta meningkatkan fungsi DAS, yang tak hanya penting untuk penyerapan karbon, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Baca juga: Kontribusi Vale Intervensi Stunting di Kabupaten Bandung
Hingga April 2025, program rehabilitasi DAS telah mencakup lahan seluas 33.306 hektare. Dari total area tersebut, 17.746 hektare telah ditanami lebih dari 12,7 juta pohon. Penanaman ini tersebar di 17 kabupaten di Sulawesi Selatan, di mana lebih dari 10 juta bibit tertanam dengan melibatkan sekitar 1.500 masyarakat lokal.
Program ini juga menjangkau wilayah lain, seperti 4 kabupaten di Sulawesi Tengah dengan penanaman 1,2 juta bibit dan partisipasi 300 masyarakat, serta 6 kabupaten di Sulawesi Tenggara di mana 82.000 bibit telah ditanam dengan bantuan 300 masyarakat lokal.
Di luar Sulawesi, program ini juga hadir di 3 kabupaten di Jawa Barat dan 2 kabupaten di Bali. Masing-masing wilayah tersebut berhasil menanam 244.000 bibit dan 160.000 bibit, dengan keterlibatan 100 masyarakat lokal di setiap wilayah.
Jenis tanaman yang digunakan sangat beragam, mulai dari jenis kayu-kayuan, seperti beringin, bitti, cemara laut, cempaka, cendana, eucalyptus, gmelina, jabon, jati lokal, kayu Afrika, kayu angin, mahoni, nyatoh, pinus, pulai, puspa, santen, suren, sengon, dan uru.
Selain itu, terdapat pula jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan MPTS yang memiliki manfaat ekonomi, seperti alpukat, aren, asam jawa, cempedak, damar, duku, durian, jambu mete, jengkol, kayu manis, kemiri, langsat, lengkeng, mangga, manggis, nangka, pala, petai, rambutan, dan sukun.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya