Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Magister Hukum SDA UI

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Ketika Udang Jadi Korban Nuklir

Kompas.com, 5 Oktober 2025, 07:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Bila negara gagal memastikan aspek keselamatan dan transparansi, maka setiap kemajuan teknologi justru berubah menjadi ancaman terhadap hak dasar rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Baca juga: Cegah Terulangnya Pencemaran Cesium-137, Pemerintah Aktifkan RPM di Pelabuhan

Ketika Transisi Energi Melupakan Etika Keadilan

Isu tercemarnya udang oleh limbah radioaktif membuka tirai besar tentang problem struktural tata kelola energi di Indonesia, bahwa inovasi sering kali berlari lebih cepat dari etika dan target ekonomi lebih kuat daripada kehati-hatian ekologis.

Dalam konteks PP KEN, pemerintah memang tengah mengejar diversifikasi energi melalui target bauran energi dengan memasukkan hidrogen, nuklir, dan energi laut ke dalam kerangka energi baru. Tetapi yang luput dari perdebatan publik adalah aspek keadilan dan keselamatan sosial dari kebijakan tersebut.

Keadilan energi berarti setiap kebijakan harus memihak pada rakyat, terutama kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban dari efek samping industri. Dalam kasus ini, para nelayan dan petambak udang kecil justru menjadi pihak pertama yang menanggung dampak reputasi buruk industri akibat kelalaian korporasi besar.

Setelah isu Cs-137 mencuat, permintaan ekspor udang turun hingga 35%, ribuan pekerja sektor pengolahan laut di Banten terancam kehilangan pekerjaan, dan citra pangan Indonesia di pasar global tercoreng. Sementara pelaku utama pencemaran masih bersembunyi di balik jargon “investasi strategis nasional”.

Lebih jauh, kasus ini menegaskan betapa pentingnya integrasi antara kebijakan energi, industri, dan kesehatan publik. Tidak cukup hanya memiliki BAPETEN yang bekerja reaktif setiap kali ada kasus; dibutuhkan sistem audit keselamatan yang terhubung dengan seluruh rantai produksi dari bahan baku, pembuangan limbah, hingga distribusi hasil olahan.

Bila pemerintah serius ingin menjadikan nuklir sebagai energi baru, maka infrastruktur keselamatan harus bertransformasi setara dengan ambisi itu. Tanpa budaya keselamatan, nuklir hanya akan menjadi versi baru dari bencana industri.

Pengalaman dunia memberikan banyak pelajaran: dari Chernobyl (1986) hingga Fukushima (2011), semua tragedi nuklir berawal dari keyakinan berlebihan pada teknologi dan pengawasan yang lemah. Indonesia kini berada di titik genting antara keinginan untuk melompat menuju energi modern dan kewajiban untuk memastikan rakyat tidak dijadikan kelinci percobaan.

Dalam konteks hukum sumber daya alam, prinsip kehati-hatian (precautionary principle) seharusnya menjadi asas utama. Negara tidak boleh menunggu bencana terjadi baru bertindak. Maka, jika pemerintah ingin mengembangkan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Serpong atau reaktor modular di Kalimantan Barat sebagaimana wacana BRIN, langkah pertama bukanlah membangun beton, melainkan membangun kepercayaan publik.

Dan kepercayaan itu hanya lahir dari transparansi informasi, keterbukaan hasil uji keselamatan, serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan.

Baca juga: Apa yang Terjadi pada Tubuh jika Makan Udang Terkontaminasi Radioaktif? Ini Kata Ahli Gizi

Menyelamatkan yang Tersisa

Kisah udang radioaktif bukan sekadar skandal teknis, melainkan cermin moral tentang bagaimana negara menempatkan keselamatan rakyat di tengah pusaran ekonomi global.

Dalam sistem ekonomi yang menilai keberhasilan dari angka ekspor dan pertumbuhan, keselamatan sering kali menjadi variabel yang bisa dinegosiasikan. Padahal, tujuan negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945 alinea keempat tidak pernah menempatkan keselamatan sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban mutlak.

Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang kerangka regulasi pengawasan radiasi di sektor non-nuklir terutama industri logam, medis, dan limbah bahan berbahaya. BAPETEN harus diberi kewenangan yang lebih luas untuk melakukan audit lintas sektor dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang lalai.

Setiap izin industri besar seharusnya mencantumkan klausul keselamatan radiasi sebagai syarat mutlak, sama seperti izin lingkungan dan AMDAL. Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan Sistem Informasi Terbuka Limbah Radioaktif Nasional (SILIRAN) platform daring yang memungkinkan publik, akademisi, dan lembaga independen memantau data lokasi, hasil uji radiasi, serta tindak lanjut pengawasan.

Transparansi adalah benteng pertama melawan ketidakpercayaan publik. Sementara itu, dunia akademik dan masyarakat sipil harus berani menagih akuntabilitas kebijakan energi nuklir yang kini dilegalkan melalui PP KEN. Jangan biarkan label “energi bersih” menutupi potensi risiko ekologis yang bisa bertahan ratusan tahun. Energi bersih tidak boleh berarti risiko kotor bagi generasi berikutnya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau