Bila negara gagal memastikan aspek keselamatan dan transparansi, maka setiap kemajuan teknologi justru berubah menjadi ancaman terhadap hak dasar rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Baca juga: Cegah Terulangnya Pencemaran Cesium-137, Pemerintah Aktifkan RPM di Pelabuhan
Isu tercemarnya udang oleh limbah radioaktif membuka tirai besar tentang problem struktural tata kelola energi di Indonesia, bahwa inovasi sering kali berlari lebih cepat dari etika dan target ekonomi lebih kuat daripada kehati-hatian ekologis.
Dalam konteks PP KEN, pemerintah memang tengah mengejar diversifikasi energi melalui target bauran energi dengan memasukkan hidrogen, nuklir, dan energi laut ke dalam kerangka energi baru. Tetapi yang luput dari perdebatan publik adalah aspek keadilan dan keselamatan sosial dari kebijakan tersebut.
Keadilan energi berarti setiap kebijakan harus memihak pada rakyat, terutama kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban dari efek samping industri. Dalam kasus ini, para nelayan dan petambak udang kecil justru menjadi pihak pertama yang menanggung dampak reputasi buruk industri akibat kelalaian korporasi besar.
Setelah isu Cs-137 mencuat, permintaan ekspor udang turun hingga 35%, ribuan pekerja sektor pengolahan laut di Banten terancam kehilangan pekerjaan, dan citra pangan Indonesia di pasar global tercoreng. Sementara pelaku utama pencemaran masih bersembunyi di balik jargon “investasi strategis nasional”.
Lebih jauh, kasus ini menegaskan betapa pentingnya integrasi antara kebijakan energi, industri, dan kesehatan publik. Tidak cukup hanya memiliki BAPETEN yang bekerja reaktif setiap kali ada kasus; dibutuhkan sistem audit keselamatan yang terhubung dengan seluruh rantai produksi dari bahan baku, pembuangan limbah, hingga distribusi hasil olahan.
Bila pemerintah serius ingin menjadikan nuklir sebagai energi baru, maka infrastruktur keselamatan harus bertransformasi setara dengan ambisi itu. Tanpa budaya keselamatan, nuklir hanya akan menjadi versi baru dari bencana industri.
Pengalaman dunia memberikan banyak pelajaran: dari Chernobyl (1986) hingga Fukushima (2011), semua tragedi nuklir berawal dari keyakinan berlebihan pada teknologi dan pengawasan yang lemah. Indonesia kini berada di titik genting antara keinginan untuk melompat menuju energi modern dan kewajiban untuk memastikan rakyat tidak dijadikan kelinci percobaan.
Dalam konteks hukum sumber daya alam, prinsip kehati-hatian (precautionary principle) seharusnya menjadi asas utama. Negara tidak boleh menunggu bencana terjadi baru bertindak. Maka, jika pemerintah ingin mengembangkan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Serpong atau reaktor modular di Kalimantan Barat sebagaimana wacana BRIN, langkah pertama bukanlah membangun beton, melainkan membangun kepercayaan publik.
Dan kepercayaan itu hanya lahir dari transparansi informasi, keterbukaan hasil uji keselamatan, serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Baca juga: Apa yang Terjadi pada Tubuh jika Makan Udang Terkontaminasi Radioaktif? Ini Kata Ahli Gizi
Kisah udang radioaktif bukan sekadar skandal teknis, melainkan cermin moral tentang bagaimana negara menempatkan keselamatan rakyat di tengah pusaran ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi yang menilai keberhasilan dari angka ekspor dan pertumbuhan, keselamatan sering kali menjadi variabel yang bisa dinegosiasikan. Padahal, tujuan negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945 alinea keempat tidak pernah menempatkan keselamatan sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban mutlak.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang kerangka regulasi pengawasan radiasi di sektor non-nuklir terutama industri logam, medis, dan limbah bahan berbahaya. BAPETEN harus diberi kewenangan yang lebih luas untuk melakukan audit lintas sektor dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang lalai.
Setiap izin industri besar seharusnya mencantumkan klausul keselamatan radiasi sebagai syarat mutlak, sama seperti izin lingkungan dan AMDAL. Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan Sistem Informasi Terbuka Limbah Radioaktif Nasional (SILIRAN) platform daring yang memungkinkan publik, akademisi, dan lembaga independen memantau data lokasi, hasil uji radiasi, serta tindak lanjut pengawasan.
Transparansi adalah benteng pertama melawan ketidakpercayaan publik. Sementara itu, dunia akademik dan masyarakat sipil harus berani menagih akuntabilitas kebijakan energi nuklir yang kini dilegalkan melalui PP KEN. Jangan biarkan label “energi bersih” menutupi potensi risiko ekologis yang bisa bertahan ratusan tahun. Energi bersih tidak boleh berarti risiko kotor bagi generasi berikutnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya