JAKARTA, KOMPAS.com – Anak muda Indonesia memegang peran strategis dalam mendorong masa depan yang berkelanjutan. Namun, di balik tingginya kesadaran terhadap isu lingkungan, masih ada jarak antara pengetahuan dan praktik nyata yang perlu dijembatani melalui kebijakan, edukasi, dan dukungan sistemik.
Gambaran tersebut terungkap dalam laporan Youth Sustainability Index (YSI) 2025 hasil kolaborasi YouthLab Indonesia dan WWF-Indonesia. Temuan ini dipaparkan oleh Senior Research Advisor YouthLab Indonesia Muhammad Faisal dalam Lestari Summit 2025 yang digelar KG Media di Raffles Hotel Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Untuk diketahui, YSI 2025 menjadi upaya pertama di Indonesia yang menyajikan pemetaan psikometrik dan perilaku generasi muda terhadap isu keberlanjutan.
Kajian itu melibatkan lebih dari 1.000 responden berusia 16–30 tahun di Jakarta, Bogor, dan Depok, serta dilengkapi dengan wawancara bersama agen WWF dan pakar keberlanjutan.
“Survei tersebut menggunakan pendekatan mix method yang mengombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif dengan rancangan psikometrik yang memungkinkan pengukuran berulang di masa mendatang,” ujar Faisal.
Baca juga: Ekonomi Vs Alam, Bagaimana Bisnis Bisa Jadi Motor Transisi Menuju Nature-Positive Economy?
Pendekatan psikometrik tersebut, kata Faisal, memastikan indeks tidak hanya menggambarkan perilaku dan persepsi, tetapi juga mengukur kapasitas emosional dan kognitif anak muda dalam menilai serta bertindak terhadap isu lingkungan.
YSI 2025 mengukur lima dimensi utama yang saling berkaitan dalam membentuk perilaku keberlanjutan anak muda, yaitu physical properties, kognitif, aksi individual, lingkungan, dan environmental worry.
“Unsur kebaruan dalam indeks ini adalah environmental worry. Kami ingin melihat bukan hanya bagaimana anak muda bertindak, melainkan juga bagaimana mereka merasa dan memikirkan masa depan lingkungan hidupnya,” jelas dia.
Hasil YSI 2025 menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki tingkat kesadaran lingkungan yang cukup tinggi, terutama dalam hal perilaku sederhana, seperti mematikan lampu untuk efisiensi energi atau membawa tumbler.
Baca juga: CEO KG Media: Butuh Kolaborasi untuk Wujudkan RI Jadi Pemain Utama Ekonomi Hijau
Namun, kesadaran tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh praktik nyata yang konsisten. Salah satu tantangan utama adalah pada pemilahan sampah dan pengelolaan konsumsi harian.
“Banyak anak muda yang masih tidak memilah sampah di rumah. Sebagian (dari mereka) merasa percuma karena sistem pengelolaan sampah di lingkungannya juga tidak mendukung. Ini menciptakan rasa ketidakberdayaan sistemik yang akhirnya membuat mereka berhenti mencoba,” jelas Faisal.
Meski begitu, Kota Bogor menonjol dengan indeks keberlanjutan tertinggi jika dibandingkan Jakarta dan Depok. Menurut Faisal, hal ini berkaitan dengan regulasi lokal yang lebih ketat terhadap penggunaan plastik sekali pakai dan lingkungan fisik yang masih relatif hijau.
Selain itu, nilai-nilai budaya lokal, seperti filosofi Sunda dan Jawa, turut memperkuat praktik ramah lingkungan di tingkat komunitas.
“Kearifan lokal terbukti bisa memperkuat perilaku berkelanjutan jika dikelola dengan baik,” ujarnya.
Baca juga: Di Lestari Summit 2025, Astra Beberkan Komitmen Penguatan Ketahanan Desa
Menariknya, YSI 2025 juga menemukan paradoks dalam dimensi environmental worry.
Ketika ditanya seberapa besar mereka merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan, seperti banjir atau longsor, sebagian besar responden menjawab “tidak pernah”.
Namun, ketika ditanya secara prospektif, sebagian besar menyatakan khawatir terhadap dampak perubahan iklim di masa depan.
“Ini menunjukkan dua hal. Pertama, bisa jadi mereka kurang memiliki literasi lingkungan untuk mengenali tanda-tanda krisis di sekitarnya. Kedua, ada helplessness—rasa tidak berdaya—yang membuat mereka memilih untuk tidak peduli,” tambah Faisal.
Paradoks itu, lanjut dia, memperlihatkan bahwa pendidikan lingkungan tidak cukup berhenti pada informasi, tetapi perlu menyentuh aspek emosional dan sosial agar anak muda merasa punya peran dalam solusi.
YSI 2025 juga menyoroti hubungan antara pekerjaan, gaya hidup, dan tingkat keberlanjutan.
Kaum wirausahawan dan freelancer cenderung memiliki skor keberlanjutan lebih tinggi.
Baca juga: Surabaya hingga Jakarta Paparkan Strategi Kota Berkelanjutan di Lestari Summit 2025
Alasannya, mereka memiliki waktu luang lebih banyak yang digunakan untuk aktivitas, seperti bersepeda, berlari, atau berkegiatan di alam terbuka.
Selain itu, responden yang sudah menikah atau tinggal bersama pasangan juga menunjukkan indeks keberlanjutan lebih tinggi.
“Ketika seseorang mulai hidup bersama dan harus merawat orang lain, muncul kesadaran baru untuk menjaga lingkungan di sekitarnya. It takes two to care. Dua orang yang hidup bersama cenderung lebih sadar akan pentingnya keberlanjutan,” tutur Faisal.
Temuan lain yang menarik adalah hubungan negatif antara waktu penggunaan media sosial dengan skor keberlanjutan.
“Semakin lama waktu yang dihabiskan untuk doom scrolling, semakin rendah tingkat mindfulness dan keterhubungan dengan lingkungan sekitar,” kata Faisal.
Baca juga: Lestari Summit & Awards 2025: Buah-buahan Lokal dan Coffee Cup Gratis untuk Peserta
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana disrupsi atensi menjadi tantangan baru bagi generasi muda. Di tengah banjir informasi politik, ekonomi, dan sosial, fokus terhadap isu lingkungan sering kali terpinggirkan.
Saat ini, generasi muda menghadapi begitu banyak distraksi. Mereka perlu ruang aman dan komunitas yang bisa mengembalikan rasa koneksi dengan alam.
Di sisi lain, keterlibatan komunitas terbukti memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan perilaku berkelanjutan.
Program Youth Activist WWF, misalnya, berhasil menumbuhkan kebiasaan positif, seperti membawa botol minum sendiri, memilah sampah, atau menginisiasi kampus bebas plastik.
Menurut Faisal, pengalaman kolektif seperti itu mampu memperkuat rasa tanggung jawab sosial sekaligus menumbuhkan optimisme terhadap perubahan.
“Anak muda perlu melihat bahwa aksi kecil mereka bisa berdampak nyata. Ketika komunitas mendukung, rasa tidak berdaya itu bisa berubah menjadi gerakan,” katanya.
Baca juga: Target Pertumbuhan 8 Persen di 2029, Pemerintah Andalkan Program 8+4+5
Faisal menegaskan, YSI 2025 bukan sekadar riset, melainkan alat ukur yang dapat digunakan secara berkelanjutan untuk menilai perubahan sikap dan perilaku anak muda terhadap lingkungan.
Indeks tersebut diharapkan dapat menjadi tolok ukur bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil dalam merancang kebijakan atau program yang lebih relevan bagi generasi muda.
“Data ini bisa membantu mengidentifikasi area yang memerlukan dukungan tambahan atau intervensi edukatif sehingga dampak keberlanjutan bisa lebih luas dan terukur,” jelasnya.
Faisal menutup paparannya dengan refleksi filosofis. Ia menyinggung teori Gaya, yakni konsep yang memandang bumi sebagai entitas hidup yang dapat memulihkan diri serta relasi manusia dengan alam yang bersifat emosional dan spiritual.
“Pada akhirnya, sustainability bukan sekadar tentang aksi, melainkan tentang keterhubungan kembali dengan bumi. Dan generasi muda harus menjadi jembatan antara kesadaran dan tindakan nyata,” tegas Faisal.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya