JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan atau karhutla turun hingga Rp 68,25 triliun. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, membandingkan data kerugian ekonomi di 2025 sebesar Rp 6,7 triliun.
Sedangkan pada 2019 karhutla menyebabkan kerugian Rp 75 triliun karena El Nino Moderat.
"Jadi ada selisih Rp 68,25 triliun yang bisa dihemat dengan upaya penanganan karhutla," kata Dwikorita di Kementerian Kehutanan, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).
Dia menjelaskan, angka tersebut menunjukkan efektivitas strategi mitigasi bencana yang dilakukan lintas lembaga.
Baca juga: Masa Peralihan Musim, BMKG Prediksi Hujan Lebat dan Karhutla Awal Oktober
"Sehingga kalau dihitung cost benefit ratio-nya itu 1.030 banding 1, manfaatnya 1.030 kali lebih besar dari kerugian setelah penanganan karhutla," imbuh dia.
Selain menekan kerugian ekonomi, penanganan karhutla juga terbukti memangkas emisi. Berdasarkan hasil penelitian BMKG dan beberapa institusi, emisi karbon akibat karhutla 2024 turun 70,7 persen.
"Itu kalau dibandingkan jumlah emisi karbon di tahun 2024 dengan emisi karbon saat El Nino kuat di tahun 2015-2016. Jadi ada kerugian ekonomi, tetapi juga ada (pengurangan) kerugian lingkungan di karbon," tutur Dwikorita.
Kendati demikian, pihaknya tetap mewanti-wanti potensi kebakaran hutan dan lahan terutama di area yang berisiko. Dwikorita mengimbau agar pemerintah daerah mulai melakukan modifikasi cuaca psda Desember 2025.
Sementara itu, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menyampaikan luasan karhutla 2025 menurun dari tahun sebelumnya. Pada 2024 karhutla melanda 376.805 ha area di 38 provinsi. Di 2025, karhutla tercatat seluas 213.984 ha.
Baca juga: Karhutla, KLH Awasi Praktik 38 Perusahaan
Dia menyebut, dalam 10 tahun terakhir kebakaran gambut di Indonesia juga dapat dikendalikan dengan signifikan dengan luas kebakaran gambut dari 891.275 ha (2015) menjadi 24.212 (2025).
"Kami berharap tahun depan bisa menekan kembali, terutama di Riau nanti misalkan bulan Februari sudah mulai kering dan operasi modifikasi cuacanya harus mulai ketika masih musim hujan," ucap Raja Juli.
"Sehingga tinggi muka air di tanah terutama di gambut, dapat kami antisipasi sebelum keringan dan kebakaran terjadi," tutur dia.
Adapun titik panas atau hotspot periode 1 Januari–26 September 2025 sebanyak 2.248 titik. Angka ini turun 23,9 persen dibandingkan 2024, yakni 2.954 titik. Raja Juli mengatakan keberhasilan pencegahan dan pengendalian karhutla ini berkat kerja sama Kemenhut, TNI, Polri, BMKG, BNPB, pemerintah daerah, serta masyarakat.
“Kami juga memastikan penegakan hukum berjalan tegas. Tidak ada kompromi terhadap pelaku pembakaran, baik individu maupun korporasi,” sebut dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya