JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Ekonomi Kelautan dan Sumber Daya Alam IPB University, Nimmi Zulbainarni, menyoroti kasus produk udang beku asal Indonesia terpapar radioaktif cesium 137 (Cs-137). Dia menilai, temuan ini menunjukkan lemahnya pengawasan mutu produk ekspor.
Selain itu, dipengaruhi belum efisiennya rantai pasok dan minimnya insentif untuk kepatuhan terhadap standar internasional.
“Rantai pasok yang panjang meningkatkan risiko degradasi mutu, apalagi sebagian besar belum sepenuhnya menerapkan cold chain management. Tanpa dukungan insentif, pelaku kecil sulit memenuhi standar internasional,” jelas Nimmi dalam keterangannya, Selasa (21/10/2025).
Baca juga: Ketika Udang Jadi Korban Nuklir
Ia mencatat, hanya 45 persen unit pengolahan ikan yang bersertifikasi Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), sistem manajemen keamanan pangan dan sertifikat Best Aquaculture Practices (BAP). Sedangkan lebih dari 70 persen tambak rakyat belum mengantongi sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB).
Nimmi menekankan, reputasi komoditas lain seperti tuna, rajungan, dan rumput laut bisa terdampak akibat kasus tersebut.
“Sekali citra mutu terganggu, negara importir bisa memperketat pengawasan seluruh produk laut dari Indonesia,” papar dia.
Kasus kontaminasi udang yang mencuat beberapa waktu lalu menjadi sinyal penting bagi sektor perikanan nasional. Nimmi menyampaikan, udang menyumbang 36–40 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2024, AS menyerap 63 persen ekspor udang Indonesia senilai 477 juta dollar AS pada semester pertama 2024. Jika terjadi pengetatan impor, risiko penolakan, atau re-ekspor, potensi kerugian bisa mencapai 200–300 juta dollar per tahun.
Selain dampak langsung, gangguan ekspor juga menekan harga udang di dalam negeri.
Baca juga: Copot Segel di Pabrik Cikande, KLH Nyatakan Lokasi Clear and Clean
“Setiap 10 persen penurunan ekspor dapat menurunkan harga domestik hingga 8 persen. Petambak kecil menjadi pihak paling terdampak karena biaya produksi seperti pakan dan energi tetap tinggi,” ujar Nimmi.
Karenanya, pemerintah perlu membenahi masalah struktural dalam tata kelola mutu dan rantai pasok produk udang. Dia pun megusulkan pengubahan pengawasan berbasis risiko, digitalisasi sertifikasi, dan penerapan pelacakan lintas komoditas.
“Krisis ini harus menjadi momentum memperkuat tata kelola mutu agar industri perikanan kita semakin tangguh dan berdaya saing di pasar global,” tutur Nimmi.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengakui ada keteledoran dari PT Peter Metal Technology (PMT) yang menyebabkan kontaminasi Cs-137. Kasus tersebut sudah masuk tahap penyidikan dari tahap penyelidikan di Bareskrim Polri.
"Hasil penelusurannya memang semuanya scrap itu diproduksi dari PT PMT yang lalai disimpan. Karena memang siapa mengira ada cesium, jadi itu mungkin kelalaian keteledoran kita semua," kata Hanif ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (15/10/2025).
KLH juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah, TNI, dan Polri untuk merelokasi warga setempat. Sementara waktu, mereka menempati tempat yang dipilih lalu akan dipulangkan kembali ke rumahnya masing-masing.
"Ini ada beberapa rumah yang kami perlu relokasi karena berada di zona merah. Tetapi realokasinya kemarin sudah disiapin di Balai Latihan Kerja Serang, nanti akan pindah sementara di sana sambil kami bersihkan," sebut dia.
Kasus ini bermula saat Food and Drug Administration (FDA) menemukan udang beku asal Indonesia mengandung Cs-137 pada Agustus lalu. Terungkap, sumber kontaminasi berasal dari besi bekas yang digunakan PT Peter Metal Technology. Pemerintah menghentikan sementara impor limbah logam bekas, pasca ditemukannya kontaminasi radioaktif.
Baca juga: Kasus Radiasi Cesium-137 di Serang, KLH Tempuh Jalur Hukum
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya