KOMPAS.com - Sepanjang sejarah manusia, orang percaya bahwa alam memiliki roh.
Gunung bukan hanya sekedar bebatuan, tetapi memiliki penjaga. Seperti halnya juga sungai yang bukan hanya sekedar air namun memiliki dewa.
Itu mengapa di banyak budaya, merusak alam tidak hanya sembarangan tetapi tindakan berbahaya. Anda bisa membuat membuat entitas spiritual atau dewa yang kuat, yang pada akhirnya dapat membawa bencana atau hukuman.
Kisah-kisah tentang roh alam dan dewa sungai bukanlah sekadar hiburan atau dongeng, masyarakat benar-benar memercayainya.
Keyakinan yang mendalam inilah yang kemudian membentuk atau memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan tanah dan sumber daya alam.
Misalnya saja, jika seseorang percaya bahwa roh hutan sedang mengawasi, mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan merusak, seperti menebang pohon.
Baca juga: Dari Konsumtif ke Produktif, Cara Membangun Budaya Keberlanjutan Sejak Dini
Namun sekarang situasinya berbeda. Lingkungan berada di bawah tekanan akibat aktivitas manusia termasuk eksploitasi berlebihan, penebangan habis-habisan, dan polusi.
Aturan yang ditetapkan pemerintah pun juga tidak selalu berhasil.
Tim peneliti di Jepang pun bertanya-tanya mungkinkan kepercayaan pada mitos bisa membantu melindungi lingkungan saat ini?
Melansir Earth, Kamis (23/10/2025), untuk menganalisis ide tentang bagaimana kepercayaan terhadap roh alam memengaruhi perilaku konservasi, tim peneliti menggunakan metode yang dikenal sebagai teori permainan evolusioner.
Teori ini adalah sebuah kerangka kerja untuk menentukan apakah keyakinan pada roh alam memberikan keuntungan yang cukup besar yaitu, melalui perlindungan lingkungan sehingga keyakinan tersebut dapat dipertahankan dan menyebar di antara anggota kelompok.
Model penelitian kemudian dirancang untuk melihat interaksi antara keyakinan dan tindakan lingkungan dengan mengukur tiga hal yakni seberapa kuat orang mempercayai hukuman gaib, seberapa banyak mereka menggunakan sumber daya alam, dan seberapa banyak sumber daya tersebut tersisa.
Hasil analisisnya menarik. Ketika orang-orang percaya mungkin ada konsekuensi spiritual karena memanfaatkan alam secara berlebihan, mereka cenderung menahan diri.
Hal itu memberi lingkungan kesempatan untuk pulih. Tetapi jika mereka berhenti percaya, rasa takut memudar, dan eksploitasi kembali.
Lebih lanjut, studi menemukan ada dua syarat agar kepercayaan pada hukuman gaib dapat memengaruhi dan mengatur perilaku manusia dalam melindungi lingkungan.
Pertama, orang perlu percaya bahwa hukuman itu cukup serius untuk menakut-nakuti mereka. Kedua, hukuman itu tidak boleh terlalu ekstrem sehingga terasa tidak masuk akal.
Jika kedua kondisi terpenuhi, keyakinan itu benar-benar dapat menyebar. Dan ketika itu terjadi, rasa takut akan hukuman supernatural berfungsi seperti sistem pengawasan mandiri, tanpa polisi, tanpa kamera. Hanya kisah, ingatan, dan budaya.
Baca juga: Lama Dilindungi Mitos, Bajing Albino Sangihe Kini Butuh Proteksi Tambahan
Tim peneliti menemukan bahwa kisah-kisah tentang roh atau dewa yang melindungi alam seringkali menarik dan orang-orang membagikannya.
Kisah-kisah ini diwariskan. Dan ketika para pemimpin yang dihormati mempercayainya atau setidaknya membicarakannya, orang lain cenderung mengikutinya.
Hal ini dapat sangat berguna di tempat-tempat dengan penegakan hukum yang terbatas tetapi budaya tradisional masih kuat. Alih-alih mencoba mengganti tradisi tersebut dengan aturan eksternal, pemerintah dan organisasi dapat bekerja sama dengan mereka.
Studi tersebut pun pada akhirnya menunjukkan bahwa konservasi bukan hanya tentang uang, hukum, atau teknologi. Ini juga tentang budaya. Kepercayaan dan kisah dapat membentuk apa yang dilakukan orang dan apa yang tidak mereka lakukan.
“Studi ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat manusia dapat memiliki hubungan yang lebih harmonis dengan alam. Tidak hanya melalui regulasi atau teknologi, tetapi juga melalui kepercayaan dan budaya supernatural,” papar Dr. Shota Shibasaki, peneliti utama studi dari Universitas Doshisha di Jepang.
Studi dipublikasikan di jurnal Humanities and Social Sciences Communications.
Baca juga: Respons Putusan MK soal Izin Berkebun di Hutan, Kemenhut Siapkan SE Menteri
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya