JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengakui adanya perbedaan sudut pandang terkait deforestasi antara Indonesia dengan Uni Eropa, dalam sejumlah aturan perdagangan kayu dan komoditas hutan.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kemenhut, Agus Budi Santosa, mengatakan Uni Eropa menganggap deforestasi sebagai hilangnya tutupan pohon di hutan.
Bagi negara-negara ini, penebangan pohon baik direncanakan maupun tidak tetap dinilai sebagai deforestasi. Uni Eropa juga telah menetapkan Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
"Yang dibicarakan oleh negara Eropa sebetulnya lebih cenderung yang kita sebut sebagai devegetasi bukan deforestasi," ujar Agus dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (24/10/2025).
Baca juga: FAO: Hutan Tetap Terancam meski Deforestasi Global Melambat dalam Satu Dekade Terakhir
Sedangkan di Indonesia, penebangan terencana yang dilakukan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) melalui rencana karya tahunan tidak dikelompokkan sebagai deforestasi.
Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pengenaan, Penentuan, dan Pembayaran atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Penggunaan Kawasan Hutan.
Di sisi lain, Agus memastikan bahwa sistem pendataan dan pemantauan tutupan hutan Indonesia menjadi salah satu yang paling transparan di dunia dengan tingkat lacak tinggi.
"Tetapi dari tujuh komoditi yang disasar EUDR kayu ini termasuk yang pelacak balaknya paling lengkap, paling bagus. Dan dinilai kita level 4, kategori tertinggi," ungkap Agus.
Kemenhut turut bekerja sama dengan Food and Agriculture Organization (FAO) dalam memvalidasi data melalui 11.296 titik poligon, dengan tingkat kepercayaan mencapai 92 persen.
"Karena kami berhasil membuktikan bahwa data tahun lalu dan lalunya bisa dilacak dengan baik," imbuh dia.
Baca juga: Hutan Miskin Pendanaan, Butuh Rp 3500 T per Tahun agar Tetap Kaya Manfaat
Sebelumnya, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menggelar pertemuan bilateral untuk membahas EUDR di Brussel, Belgia, Juni 2025 lalu. Dalam pertemuan itu, kedua negara menyampaikan pandangan serta memperjelas posisi masing-masing terkait implementasi maupun dampak EUDR.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Kemenhut, Krisdianto, menjelaskan komoditas yang dianggap berasal dari praktik perusakan hutan, masih bisa masuk Eropa dengan batas waktu (cut off) pada 31 Desember 2020.
"EUDR sekarang dari komisi ke parlemen minta untuk diperpanjang lagi. Jadi, mulai berlakunya per 1 Januari 2027, tetapi parlemen belum final," kata Krisdianto.
"Terkait dengan cut off date-nya betul 31 Desember 2020, kemudian memang kami akan lihat sumbernya kalau (sebelum) 31 Desember 2020, relatif 'halal' berarti bisa masuk ke sana," lanjut dia.
Indonesia sendiri memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang membuktikan legalitas komoditas kehutanan. Krisdianto menyebutkan, Uni Eropa dan Indonesia pun menyepakati Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), untuk mengakui legalitas serta keberlanjutan kayu asal Indonesia.
"Kemudian untuk sustainability, kelestariannya ada namanya SVLK plus. Plusnya adalah plus geolocation yang mengarah pada sumber-sumber (komoditas)," ucap Krisdianto.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya