KOMPAS.com – Program 100 gigawatt (GW) tenaga surya yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dinilai dapat menjadi titik balik penting bagi kepemimpinan Indonesia dalam transisi energi bersih global.
Jika terealisasi, inisiatif besar ini berpotensi membawa Indonesia mencapai puncak emisi batu bara di sektor kelistrikan pada 2030 atau bahkan lebih cepat, sejalan dengan tren dunia menuju energi rendah karbon.
Laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk “China, India, and Indonesia: the three main growth markets for coal could peak by 2030” menempatkan Indonesia bersama Tiongkok dan India sebagai tiga pasar utama yang menentukan arah transisi global.
Ketiga negara tersebut selama ini menjadi kontributor besar terhadap peningkatan emisi karbon, namun juga memiliki potensi paling besar untuk membalikkan tren tersebut lewat pengembangan energi bersih secara masif.
Di Indonesia, Presiden Prabowo baru-baru ini menetapkan program ambisius PLTS 100 GW yang mencakup pembangunan PLTS 80 GW terintegrasi sistem penyimpanan baterai 320 gigawatt hours (GWh) di 80 ribu desa serta 20 GW proyek skala besar di berbagai wilayah Indonesia.
“Program 100 GW energi surya Presiden Prabowo menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencapai puncak emisi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada 2030. Namun, peluang ini baru akan ada ketika visi presiden diterjemahkan dalam peta jalan yang konkret di mana energi bersih mendominasi tambahan kapasitas listrik,” kata Katherine Hasan, Analis CREA.
Baca juga: Antara Karbon dan Kedaulatan: Menakar Arah Transisi Energi Indonesia
Katherine menilai, masalah muncul karena “Visi Presiden Prabowo tentang 100 GW energi surya dan 100 persen energi terbarukan pada 2035 terlihat tidak diselaraskan dalam perencanaan nasional."
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2030 masih berfokus pada peningkatan bahan bakar fosil, seperti batu bara dan gas yang mencapai 16,6 GW. Di sisi lain,pertumbuhan energi bersih di Indonesia jauh di bawah target.
Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang kembali didiseminasikan baru-baru ini tidak mengindahkan visi Presiden Prabowo. Target bauran energi terbarukan tidak berubah dari rentang yang telah didiskusikan setahun lalu, dan komitmen pemensiunan pembangkit listrik berbasis fosil sama sekali tidak disebutkan.
"Kementerian teknis terlihat enggan menyesuaikan, dan malah tetap berpegang pada agenda lama sehingga melemahkan visi Presiden serta komitmen iklim Indonesia,” ungkap Katherine.
Pakar menilai, bila program energi surya ini berjalan sesuai rencana, Indonesia berpeluang melampaui target iklim yang selama ini dicanangkan. Model desentralisasi energi berbasis komunitas juga dinilai dapat menciptakan manfaat sosial-ekonomi baru, terutama di desa-desa yang selama ini bergantung pada bahan bakar fosil.
Secara global, langkah Indonesia sebernarnya sejalan dengan tren di Tiongkok dan India. Tiongkok mencatat penurunan emisi kelistrikan sejak awal 2024 berkat kebijakan dual carbon goals Presiden Xi Jinping. Sementara India berhasil menambah 29 GW kapasitas pembangkit hijau pada 2024 dan 25 GW pada paruh pertama 2025, dengan target ambisius 500 GW energi terbarukan pada 2030.
“Ekspansi pembangkit listrik berbasis batu bara yang tidak terkendali berisiko menciptakan kepentingan golongan yang kuat, yang berpotensi menunda transisi energi di China, India, dan Indonesia. Pengurangan emisi sektor kelistrikan setelah puncak emisi tidak hanya perlu diikuti dengan menjaga tingkat pertumbuhan energi bersih sebelum 2030, tetapi juga memastikan reformasi pasar listrik dan transmisi agar momentum pertumbuhan tersebut dapat berlanjut,” Lauri Myllyvirta, Pendiri dan Analis Utama CREA, menegaskan.
Baca juga: Demi NZE 2060, RI Tak Boleh Korbankan Hutan dan Gambut untuk Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya