KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menghitung berbagai potensi kerugian ekonomi akibat krisis iklim pada sejumlah sektor strategis.
Pertama, potensi kerugian pada sektor pangan secara agregat akibat krisis iklim setara 0,8-1,26 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Di antaranya, terkait potensi penurunan produktivitas padi dan jagung rata-rata 0,9 persen per tahun, dengan total kerugian lahan mencapai 4,3 juta hektar pada 2050.
Kemudian, potensi penurunan produktivitas sayur dan buah sekitar 5-7 persen, serta perkebunan hingga 9 persen pada 2050.
Baca juga: Krisis Iklim bagi Gen Z Masih Soal Cuaca Ekstrem, Pelibatan Mereka Sekadar Formalitas
Kedua, potensi kerugian pada sektor air akibat krisis iklim setara 0,33-0,43 persen dari PDB nasional. Ini mengingat risiko penurunan ketersediaan air hingga 27 persen pada 2050. Khususnya, di wilayah padat penduduk dan kawasan pertanian.
"Ini setara dengan kehilangan 5,5 juta hektometer kubik (air) per tahun," ujar Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLH, Franky Zamzani dalam acara konsultasi publik penyusunan Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptation Plan/NAP), Jumat (31/10/2025).
Ketiga, potensi kerugian pada sektor kesehatan akibat krisis iklim setara 0,3 persen dari PDB nasional. Menurut Franky, wilayah penyebaran penyakit yang sensitif terhadap iklim seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria, semakin luas pada 2050.
"Malaria dapat muncul kembali di daerah yang sebelumnya sudah bebas dan dampaknya terhadap produktivitas di tahun-tahun ekstrem," tutur Franky.
Keempat, potensi kerugian pada sektor energi akibat krisis iklim setara 0,1-1,8 persen dari PDB nasional. Peningkatan suhu akibat krisis iklim mendorong kenaikan permintaan pendingin udara (AC), yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan listrik secara nasional pada 2050.
"Setiap kenaikan suhu 1 derajat celcius dapat menurunkan kapasitas pembangkit tenaga listrik hingga 5,8 persen, sementara pertumbuhan pasokan energi hanya menutupi 30 persen dari kebutuhan nasional. Banyak banget tantangannya," ucapnya.
Kelima, potensi kerugian pada sektor ekosistem akibat krisis iklim setara 14,4-18 persen dari PDB nasional. Jika dibiarkan, sebesar 50 persen mangrove di Indonesia akan terdegradasi dan 19 persen lainnya dalam kondisi kritis pada 2050.
Keenam, potensi kerugian pada sektor kebencanaan akibat krisis iklim setara 6,21 persen dari PDB nasional. Apalagi, Indonesia menempati peringkat ketiga dalam risiko bencana tertinggi di dunia. Mayoritas bencana di Indonesia terkait dengan iklim atau bencana hidrometeorologi.
Risiko iklim di Indonesia bersifat spasial, tidak merata, dan sangat kontekstual. Berdasarkan analisis KLH, setiap pulang menghadapi kombinasi risiko yang berbeda dari sektor pangan, air, kesehatan, energi, maupun ekosistem.
"Jadi, Indonesia itu kayak supermarket lah, lengkap. Jadi kalau bicara kerentanan setiap pulau beda-beda," ujar Franky.
Misalnya, Pulau Sumatera dan Kalimantan menghadapi tekanan dari degradasi ekosistem hutan dan lahan gambut, penurunan kualitas air, serta peningkatan banjir maupun kebakaran.
"Kombinasi tersebut berdampak terhadap rantai pasok pangan dan energi nasional," tutur Franky.
Kemudian, Pulau Jawa menghadapi peningkatan suhu, penurunan ketersediaan air bersih, dan berbagai risiko terkait iklim.
Sedangkan Pulau Bali dan Nusa Tenggara menghadapi kekeringan dan degradasi terumbu karang. Sementara itu, Pulau Sulawesi dan Maluku menghadapi dampak pada produktivitas perikanan dan kerentanan ekosistem pesisir.
Untuk Papua, kata dia, wilayah tersebut menghadapi peningkatan hujan ekstrem dan longsor di wilayah pegunungan, serta penyakit tropis di kawasan daratan rendah.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
"Karena Indonesia terlalu kompleks, diversity-nya sangat tinggi. Maka, NAP ini menegaskan adaptasi tidak bisa dilakukan dengan satu resep nasional, tapi yang dibutuhkan adalah strategi berbasis wilayah agar intervensi ini benar-benar menjawab risiko ilmiah," ucapnya.
Ia berharap strategi adaptasi berbasis wilayah dalam terintegrasi dalam perencanaan daerah, sehingga setiap uang yang diinvestasikan untuk ketahanan iklim menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat di lapangan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya