KOMPAS.com - Kebijakan sektor pertanian dengan pendekatan top down dan tanpa banyak melibatkan partisipasi masyarakat di daerah, pelaksanaannya cenderung tidak selaras dengan tujuan awal.
Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economic & Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman, proyek-proyek yang bersifat top down seperti korporasi petani atau food estate, pelaksanaannya kerap tidak selaras dengan arah kebijakannya.
Baca juga: Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
"Pendekatan seperti ini sifatnya administratif, mestinya didorong ke dalam pendekatan bottom up untuk pemberdayaan kelembagaan. Karena kalau bukan kebutuhan ekonomi level bawah dan hanya berbasis kepentingan proyek top down, seringkali implementasi menjadi tidak pas. Awalnya dianggap sebagai insentif bagi petani, tapi tidak tersampaikan," ujar Rizal dalam webinar pekan lalu.
Selain itu, proyek-proyek dengan pendekatan top down semestinya diiringi dengan penguatan kelembagaan. Akan tetapi, kenyataannya proyek-proyek dengan pendekatan top down justru kerap mengabaikan penguatan kelembagaan yang ada.
"Seringkali kelembagaan ini tidak menjadi konsep ya, bagaimana misalnya membangun sebuah proyek yang sifatnya top down dengan sasaran petani gurem, maka tentu harus diperkuat kelembagaannya," tutur Rizal.
Ia menilai, total factor productivity (TFP), hilirisasi sistem pangan (agrifood system), serta kemitraan antara usaha besar dan petani berskala kecil (petani gurem) sebagai kunci pertumbuhan pertanian untuk mendukung pencapaian target produk domestik bruto (PDB) nasional 8 persen.
Berdasarkan Riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen jika terjadi kenaikan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB minimal 4,7 persen per tahun.
Rizal menganggap, sub sektor peternakan dan perikanan semestinya dapat menjadi kontribusi utama dalam mencapai target tersebut. Apalagi, berat untuk mengharapkan kontribusi dari sub sektor lain, seperti sistem pangan (agrifood system).
"Sub sektor peternakan dan perikanan yang menjadi bagian dari sektor pertanian itu mesti jadi lokomotif," tutur Rizal.
Untuk mencapai target nasional pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029, kata dia, sektor pertanian harus melakukan percepatan produktivitas yang substansial. Produktivitas tenaga kerja menjadi tantangan berat dalam meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB.
Sektor pertanian merupakan cerminan paling jelas dari fluktuasi TFP nasional. Produktivitas sektor ini di Indonesia tergolong rendah, tidak stabil, serta sangat bergantung pada faktor eksternal.
Karena itu, dibutuhkan strategi TFP yang disertai penguatan teknologi, riset, kelembagaan, serta insentif efisiensi berkelanjutan di tingkat petani maupun agroindustri agar sektor pertanian dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Lahan Pertanian Global Diproyeksikan Meningkat Tiga Kali Lipat pada 2100
"Maka, tanpa mesin yang jelas, target 8 persen itu menjadi optimis tetapi ragu. Jadi, mestinya ada satu mesin yang bisa menjalankan itu. Ya, tentu policy (kebijakan). Padahal, kalau dilihat stagnasi pertanian di Indonesia bukan semata karena transformasi ekonomi alami," tutur Rizal.
Kemandekan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB erat kaitannya dengan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Khususnya, kebijakan yang berdampak pada besaran subsidi pupuk, harga dasar gabah, tarif ekspor, sampai biaya produksi.
Selain itu, kemandekan kontribusi itu juga karena produktivitas tenaga kerja sektor pertanian cenderung turun selama dekade terakhir.
Penurunan produktivitas tersebut disebabkan melambatnya modernisasi dan adopsi teknologi pertanian. Penurunan produktivitas juga disebabkan fragmentasi lahan yang semakin mengecil akibat tekanan demografis dan urbanisasi.
Di sisi lain, tenaga kerja sektor pertanian yang tersisa saat ini umumnya berusia tua dan berpendidikan rendah. Imbasnya, efisiensi dan output per tenaga kerja pada sektor pertanian cenderung stagnan.
Sebelumnya, peneliti Ahli Utama Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erizal Gamal mengatakan, sangat mungkin Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Baca juga: Tanah Terdegradasi, Iklim Memburuk: Pertanian Ramah Lingkungan Jadi Solusi
"Jadi, dalam hitung-hitungan kami, berdasarkan potensi ekonomi yang ada di Indonesia, bahwa tumbuh 8 persen itu sangat mungkin. Itu perlu ditunjang oleh pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Pertanian harus tumbuh 4,7 persen per tahun, sementara industri 7,3 persen dan jasa 9,5 persen. Itu hasil simulasi yang kami buat," ujar Erizal Gamal.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya