JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai memiliki skema pembiayaan untuk melakukan program pensiun dini terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Tiga lembaga, yakni CREA, Celios, dan Trend Asia menyebut skema pembiayaan yang bisa digunakan pemerintah, di antaranya, Just Energy Transtion Partnership (JETP), Energy Transtition Mechanism (ETM), dan berbagai inisiatif green finance lainnya.
"Biaya pensiun dini PLTU itu sebetulnya enggak lebih dari lima kali pengeluaran fiskal negara, yang pada akhirnya banyak kita tahu tidak efektif. Jadi, sebetulnya masalah utamanya bukan pada ketiadaan dana, tetapi dari mindset (pola pikir) bahwa ini adalah kerugian, bukan investasi jangka panjang," ujar Peneliti dari Celios, Atina Rizqiana di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Menurut Atina, ada alokasi fiskal negara yang dinilai kurang tepat di antaranya, pembiayaan untuk proyek makan bergizi gratis (MGB), food estate, ibu kota negara (IKN), hingga terkait proyek strategis nasional (PSN).
Berdasarkan perhitungan CREA, Celios, dan Trend Asia, Indonesia sebenarnya dapat menghemat 130 miliar USD atau Rp 2.171 triliun jika memensiunkan 20 PLTU paling berbahaya di Indonesia.
Riset terbaru CREA, Celios, dan Trend Asia juga melaporkan pengoperasian 20 PLTU paling berbahaya berdampak pada setidaknya 156.000 kematian dini dan kerugian ekonomi yang mencapai Rp1,813 kuadriliun.
Dari segi dampak kesehatan, polusi udara PLTU mengakibatkan kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan kurang, kasus asma baru pada anak-anak, sampai tahun-tahun hidup dengan disabilitas akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), stroke, dan diabetes.
Dari segi dampak ekonomi, PLTU batu bara menyebabkan kerugian nyata bagi perekonomian nasional. Pertama, penurunan output ekonomi nasional sebesar Rp 52,44 triliun per tahun akibat berkurangnya produktivitas lintas sektor.
Kedua, pendapatan masyarakat menurun Rp 48,47 triliun per tahun, terutama di wilayah dengan konsentrasi PLTU tinggi. Ketiga, sebanyak 1,45 juta tenaga kerja terdampak melalui kehilangan pekerjaan maupun menurunnya produktivitas akibat paparan polusi udara.
Pertanian, kehutanan, serta perikanan merupakan sektor paling terdampak PLTU, karena mengubah kualitas udara, air, dan tanah. Polusi partikulat (PM2.5) dari PLTU menurunkan produktivitas lahan, menganggu hasil panen, serta mencemari ekosistem pesisir dan perairan. Selain itu, PLTU juga berdampak pada industri pengelolaan dan sektor perdagangan.
Baca juga: Lembaga Ini Sebut Pengoperasian 20 PLTU di Indonesia Sebabkan 156.000 Kematian Dini
"Kerugian ekonomi yang lahir dari keberadaan PLTU justru lebih besar daripada kemampuan Indonesia dalam melakukan pensiun dini PLTU. Kita tahu, PLTU mengubah lanskap pedesaan, degradasi lingkungan itu berpengaruh pada pertanian. Tidak ada padi berarti tidak ada lagi input komoditasnya, akhirnya terjadi penurunan yang besar di industri pengolahan dan aktivitas ekonomi di sekitar PLTU," tuturnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya