JAKARTA, KOMPAS.com - Juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi menilai, kebijakan penanganan krisis iklim di Indonesia 'bermuka dua'.
Di satu sisi, pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan strategi adaptasi dan mitigasi krisis iklim. Di sisi lain, pemerintah Indonesia malah masih mempertahankan PLTU atau melakukan deforestasi untuk proyek strategis nasional (PSN) di Merauke.
"Tentu (bermuka dua), kami melihat ini menjadi sebuah kontradiksi. Di panggung dunia, Presiden kita (Prabowo Subianto) menggebu-gebu 'Oh, kita akan pensiunkan PLTU, kita mau target 100 persen (energi terbarukan). Tapi ternyata dalam level kebijakan nasionalnya, di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) terlihat ya, masih ada batu bara di situ, masih ada pembangkit gas di situ, masuk biomass di situ ya kan," ujar Novita di Jakarta, Selasa (4/10/2025).
Baca juga: Ini Hitungan Kerugian Ekonomi yang Terjadi di Indonesia akibat Krisis Iklim
Menurut Novita, pembangkit listrik berbasis batu bara, gas, sampai biomassa, merupakan sumber energi yang justru berkontribusi terhadap krisis iklim.
Ia juga mempertanyakan laporan adaptasi dan mitigasi krisis iklim pada sektor energi. Katanya, semestinya perkembangan adaptasi dan mitigasi krisis iklim pada sektor energi disampaikan para pihak terkait ke publik.
"Saat ini belum (terlihat sama sekali laporan adaptasi dan mitigasi krisis iklim pada sektor energi). Justru kalau aku merujuk ke dokumen Second NDC (Nationally Determined Contribution) terbaru, yang di-submit sama KLH di situ untuks ektor energi masih mengakomodir penggunaan CCUS (carbon capture, utilization, and storage)," tutur Novita.
Di dalam RUPTL 2025-2034, narasi yang diarusutamakan ialah pengurangan penggunaan batu bara untuk PLTU dan menggantinya dengan gas (PLTG) untuk mengisi masa transisi energi. Padahal, gas bukanlah energi baru terbarukan, melainkan bagian dari energi fosil, seperti batu bara.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Ganggu Kualitas Tidur, Kok Bisa?
"Memang kami melihat bahwa apa yang disampaikan pemerintah di mata dunia dan kebijakan nasional itu kontradiksi. Seharusnya apa yang disampikan Prabowo ketika bilang 'Oke, kita mau pensiunkan semua PLTU dalam 15 tahun', itu harusnya yang terefleksikan dalam kebijakan," ucapnya.
Menurut Novita, berbagai pernyataan Prabowo terkait transisi energi semestinya diwujudkan dalam peraturan menteri (Permen), peraturan pemerintah (PP), atau peraturan presiden (Perpres).
Ia menyesalkan, sampai saat ini tidak ada lembaga yang secara khusus mengawal adpatasi dan mitigasi krisis iklim.
"Yah, sayangnya saat ini semuanya diparkirkan ke kementerian-kementerian ya. Jadi, ya sudah, (Kementerian) ESDM ngapain, perikanan (KKP) ngapain, kami juga melihat ada beberapa kebijakan itu yang masih belum inline lintas kementerian seperti RUPTL itu masih mengakomodir ya energi fosil. Second NDC belum meng-address potensi-potensi cemaran lainnya. Jadi, lagi-lagi ya, bisa kita bilang masih ada kontradiksi," ujar Novita.
Di sisi lain, solusi yang ditawarkan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam penanganan krisis iklim cenderung tidak menjawab akar masalahnya. Kata dia, penanganan krisis iklim tidak bisa sporadis, mengingat permasalahan tersebut sangat kompleks dan sistematis.
"Naiknya, muka air laut, solusinya bangun tanggung giant sea wall sepanjang Jakarta. Pertanyaannya, apakah dengan bangun tanggul masalah muka air laut akan menurun? Enggak, karena ini masalah kompleks. Ini masalahnya bukan hanya air laut naik, tapi pertanyaan kenapa air laut ini bisa naik?. Jadi, memang masih ada banyak kontradiksi-kontradiksi," tutur Novita.
Baca juga: Solusi Krisis Iklim Ada di Akar Rumput, Pemerintah Jangan Bikin Program Sepihak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya